Wednesday, 30 March 2016

Status Kepemilikan Properti Bagi WNA Akibat Perkawinan Campuran

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Pernikahan bersifat universal dan tidak dibatasi oleh warna kulit, ras dan kewarganegaraan. Tidak mengherankan jumlah perkawinan campuran terus bertambah, termasuk di Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan melakukan perkawinan campuran antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.

1.      RUMUSAN MASALAH
a.       Perkawinan Campuran.
b.      Status Kepemilikan Properti Bagi WNA Akibat Perkawinan Campuran.

2.      TUJUAN PENULISAN
Untuk memudahkan mahasiswa supaya lebih mengetahui tentang perkawinan campuran dan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki oleh WNA akibat dari perkawinan campuran.

3.      METODE PENELITIAN
a.       Studi pustaka
-          Buku-buku
-          Internet
-          Literatur


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERKAWINAN CAMPURAN
a.      Pengertian perkawinan campuran.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.




B.     STATUS KEPEMILIKAN PROPERTI BAGI WNA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN.
Perkawinan campuran yang terjadi antara WNI dengan WNA tidak sepenuhnya menyebabkan WNA memperoleh kepemilikan properti WNI yang dinikahinya. Menurut pasal 21 ayat (3) UU No 5 Tahun 1960[1]
Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu/percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut/hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlaku.
Maka dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam pasal 35 UU Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini, dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha.
Akan tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan, dengan catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan sebelum menikah, yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak tersebut adalah menjadi milik masing-masing.
Yang harus diingat, perjanjian perkawinan untuk memisahkan harta tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan. Ini sesuai dengan definisi perjanjian perkawinan dalam pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, yaitu: Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Apabila pelaku perkawinan campuran tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelum perkawinan, maka mereka tidak dapat memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan. Akan tetapi mereka bisa menjadi pemegang Hak Pakai. Sebagaimana dijelaskan di atas, Hak Pakai dapat dipegang oleh seorang WNA, sehingga tidak ada masalah walaupun sang pasangan masih berstatus WNA.
Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dan bangunan, terbatas hanya tanah-tanah yang berstatus Hak Pakai dan Hak Sewa, terkecuali para pihak dalam perkawinan campuran tersebut membuat perjanjian kawin sebelum menikah. Dengan adanya perjanjian kawin, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing.
Jika pasangan suami isteri menikah tanpa perjanjian kawin, dan berlangsung sebelum jangka waktu satu tahun dicatatkan, hak atas tanah masih dimungkinkan dialihkan kepada pihak ketiga[2] Jika ternyata perkawinan sudah melewati masa satu tahun, berlakulah ketentuan hak milik dan Hak Guna Bangunan dalam UUPA. Artinya, tanah tersebut menjadi dikuasai negara. Bentuk pengalihan jual belinya bukan lagi dalam bentuk akta PPAT, melainkan dengan akta notaril dengan judul ‘Jual Beli dengan Pelepasan Hak’. Jadi, WNI yang sudah terlanjur menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin, sebaiknya tanah yang dimiliki di Indonesia segera dipindah-tangankan dengan cara dijual atau dihibahkan kepada orang tua, anak, saudara kandung atau kerabat sebelum diketahui oleh pemerintah yang dapat menyebabkan hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh kepada Negara tanpa ganti rugi sesuai dengan peraturan Pasal 21 (ayat 3) UUPA.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Perkawinan campuran yang terjadi antara WNI dengan WNA tidak sepenuhnya menyebabkan WNA memperoleh kepemilikan properti WNI yang dinikahinya. Menurut pasal 21 ayat (3) UU No 5 Tahun1960 : Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu/percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut/hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlaku.

B.     SARAN
Mudah – mudahan tulisan singkat ini dapat membawa manfaat bagi kami khususnya dan kawan-kawan umumnya, guna menambah khasanah pengetahuan yang telah ada. Sebagaimana telah kami ungkapkan dalam awal makalah ini, mengingat keterbatasan pengetahuan kami, kiranya kritik dan saran amat kami perlukan untuk kebaikan kita semua.



DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bf0f8d38392d/Talkhukumonline—discussion.
http://irmadevita.com/2012/kewarganegaraan-status-pemilikan-tanah-warisan-pada-perkawinan-campuran/.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7051/kepemilikan-properti-%28kaitannya-dengan-pernikahan-dengan-pria-wna%29.
UU No 5 Tahun1960 tentang pokok Agraria.








1). Undang-undang pokok Agraria.
[2]).  Winanto Wiryomartani  dalam artikel hukum online.

No comments:

Post a Comment