Wednesday, 30 March 2016

DUPLIK Pidana


DUPLIK
Terhadap Replik Jaksa Penuntut Umum
Tertanggal  21 Maret 2016
DALAM PERKARA PIDANA DENGAN NOMOR REGISTER
147/Pid.B/PN-Lsm
Atas Nama Terdakwa : Mukhsin bin Abdullah
Oleh tim pembela :
Sulaiman Zaini, S.H.,M.H
Rahmawati, S.H.


Majelis Hakim Yang kami Muliakan ;
Saudara Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta Hadirin Sidang Pengadilan Negeri Lhokseumawe Yang Kami Hormati.

Bahwa apa yang akan kami sampaikan dalam Duplik ini, merupakan upaya kami untuk menjawab tanggapan jaksa penuntut umum (Replik) dalam persidangan minggu lalu tertanggal 21 Maret 2016.

Bahwa jaksa penuntut umum dalam Repliknya dimuka persidangan pada tanggal 21 Maret 2016 berkesimpulan sebagai berikut :

1.      Bahwa pada saat penyidikan dalam perkara ini sangat jelas sekali dalam perkara ini murni tindak pidana pencurian dengan pemberatan, melihat bahwa melakukan aksinya pada malam hari sekira-kira pukul 23.30 WIB.
2.      Bahwa pada saat penyidikan dalam perkara ini yang kemudian dituangkan dalam surat dakwaan sudah sesuai dengan fakta yang ada sehingga tidak ada unsur mendramatisir.
3.      Bahwa dalam menyusun surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah sesuai dengan kaidah penyusunan surat dakwaan yang ada. Sehingga tidak ada nsur menyesatkan apalagi asal-asalan dalama mendakwa karena jaksa penuntut umum dalam surat dkawaannya sesuai dengan fakta dan hasil penyidikan.
4.      Bahwa dengan demikian surat dakwaan jaksa penuntut umum adalah sah menurut hukum.
Terhadap kesimpulan jaksa penuntut umum tersebut diatas, maka kami tim penasehat hukum terdakwa Mukhsin bin Abdullah memberikan jawaban (Duplik) sebagai berikut :

1.      Bahwa jaksa penuntut umum telah plin-plan dalam tanggapan poin 1. Hal ini dikarenakan pada surat dakwaan sebelumnya, jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa Mukhsin alias wan bin Abdullah dengan dakwaan tindak pidana pencurian sebagaimana di atur dalam pasal 362 KUHP, Sedangkan dalam tanggapannya (Replik) poin ke 1 jaksa penuntut umum menjelaskan bahwa dalam perkara ini murni tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana di atur dalam pasal 363 KUHP.
2.      Bahwa tanggapan (Replik) saudara jaksa penuntut umum telah nyata-nyata tidak jelas dan mengandung kekaburan.

Berdasarkan uraian diatas, maka kami tim penasehat hukum terdakwa Mukhsin bin Abdullah menyatakan tetap pada pembelaan sebagaimana telah kami bacakan pada sidang tanggal 21 maret 2016. Kami memohon kepada hakim agar dapat memutus perkara ini dengan seadil-adilnya.
Demikian jawaban kami terhadap Replik jaksa penuntut umum.


Hormat Kami,
Tim Penasihat Hukum Terdakwa
Lhokseumawe, 28 Maret 2016
Kantor Advokat S.R and Associates



Sulaiman Zaini, S.H.,M.H                                                                            Rahmawati, S.H.


Surat Eksepsi Pidana

EKSEPSI
Terhadap Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Tertanggal  29 Februari 2016
DALAM PERKARA PIDANA DENGAN NOMOR REGISTER
147/Pid.B/PN-Lsm
Atas Nama Terdakwa : Mukhsin bin Abdullah
Oleh tim pembela :
Sulaiman Zaini, S.H.,M.H
Rahmawati, S.H.


Lhokseumawe, 07 Maret, 2016

Kepada Yang Terhormat,
Majelis Hakim Pemeriksa
Perkara Pidana Nomor 147/Pid.B/PN-Lsm
Pada Pengadilan Negeri  kelas II B lhokseumawe,
di-Lhokseumawe.

Majelis Hakim Yang kami Muliakan ;
Saudara Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat;
Serta Hadirin Sidang Pengadilan Negeri Lhokseumawe Yang Kami Hormati.

Sehubungan dengan adanya surat dakwaan dari Sdr. jaksa penuntut umum, maka perkenankanlah kami Tim Kuasa Hukum Terdakwa dari Kantor Advokat S.R and Associates, berkedudukan di Jl. Samudera Baru Nomor.114, kota Lhokseumawe, bertindak untuk dan atas nama Terdakwa Mukhsin bin Abdullah, dengan ini menyampaikan nota keberatan (eksepsi) terhadap Surat Dakwaan dari Sdr. Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor register perkara : 147/Pid.B/PN-Lsm tertanggal 29 februari 2016 yang di tandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum Bakillani, S.H.,M.H. dan Rahmi Maulida, S.H.,M.H. Selanjutnya, kami selaku Tim Penasehat Hukum, untuk dan atas nama Terdakwa Mukhsin  bin Abdullah mengucapkan terima kasih kepada yang mulia majelis hakim karena telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengajukan eksepsi dalam proses persidangan ini.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa surat dakwaan berfungsi sebagai dasar atau landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. surat dakwaan itu dibuat dan disusun berdasarkan berkas perkara yang berisi hasil pemeriksaan dan penyidikan terhadap tersangka, saksi-saksi maupun alat-alat bukti. berita acara pemeriksaan tersangka, saksi-saksi, berita acara diberkas dalam satu berkas perkara yang menjadi dasar bagi saudari jaksa penuntut umum di dalam menyusun surat dakwaannya, yang kemudian surat dakwaan tersebut menjadi pedoman bagi majelis hakim, penuntut umum maupun saya terdakwa di persidangan dalam upaya mencari dan menentukan kebenaran materil.

Apabila Penuntut Umum tidak cermat atau keliru menuntut, maka akibatnya sidang Pengadilan akan dituntun memasuki ruangan atau bangunan hukum yang keliru.
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah ditentukan hal-hal sebagai berikut:
            Pasal 143 ayat 2b:
Bahwa surat dakwaan Penuntut Umum harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan.
            Pasal 143 ayat 3:
Bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b, batal demi hukum.
Berdasarkan ketentutan Pasal 156 ayat 1 KUHAP yang diberikan hak kepada kami, Penasihat Hukum dan Terdakwa sendiri untuk mengajukan keberatan, meminta agar Surat Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum yang tidak cermat, kabur dan tidak berdasarkan hukum, untuk dinyatakan tidak dapat diterima atau dinyatakan batal demi hukum.

Dengan didasari pemikiran dan ketentuan perundang-undangan tersebut di atas dan setelah mempelajari dengan seksama surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan pada persidangan tanggal 29 Februari 2016, dengan tidak mengurangi penghargaan kami atas segala usaha dan jerih payah Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan, maka eksepsi ini kami ajukan karena kami menemukan adanya hal-hal yang keliru dalam dakwaan.

TENTANG JPU SALAH DALAM MENERAPKAN HUKUM DALAM

SURAT DAKWAANNYA

Majelis Hakim yang Mulia,
Saudara Penuntut Umum yang terhormat,
Hadirin Sidang yang kami hormati,
Bahwa surat dakwaan saudara Jaksa Penuntut Umum nyata-nyata telah salah dalam menerapkan hukum atau pasal yang seharusnya didakwakan kepada Terdakwa, hal ini dikarenakan pencurian tersebut dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan di lakukan oleh dua orang atau lebih dengan cara merusak atau memanjat atau dengan memakai alat kunci palsu dengan demikian jelas-jelas tidak tepat apabila Terdakwa di dakwa telah melanggar pasal  362 KUHP.
Bahwa pengenaan dakwaan yang tepat terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepada Terdakwa tersebut telah melanggar pasal 362 KUHP, hal ini dikarenakan, pencurian dalam pasal 362 KUHP merupakan delik  pencurian perseorangan, bukan secara bersama-sama.

TENTANG SURAT DAKWAAN KABUR/
OBSCUURE LIBELE

Bahwa surat dakwaan saudara Jaksa Penuntut Umum telah nyata-nyata tidak jelas dan mengandung kekaburan hal ini dikarenakan uraian dalam penentuan pasal-pasal yang didakwa kepada terdakwa adalah salah.
Bahwa berdasarkan pasal 346 KUHAP, maka surat dakwaan yang tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap batal demi hukum.

Majelis Hakim yang Mulia,
Saudara Penuntut Umum yang terhormat,
Hadirin Sidang yang kami hormati,
Berdasarkan pada pokok-pokok nota keberatan yang kami uraikan d atas, maka kami selaku penasihat hukum terdakwa Mukhsin bin Abdullah memohon kepada majelis hakim untuk menjatuhkan putusan dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:

1.      Menerima dan mengabulkan eksepsi kami untuk seluruhnya.
2.      Menyatakan Surat Dakwaan  Jaksa Penuntut Umum dengan Nomor Registrasi Perkara : 147/Pid.B/PN-Lsm Batal Demi Hukum;
3.      Menetapkan agar pemeriksaan perkara terhadap Terdakwa Mukhsin bin Abdullah untuk tidak dilanjutkan;
4.      Memulihkan hak Terdakwa Mukhsin bin Abdullah dalam hal kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
5.      Membebankan biaya perkara kepada negara.

Atau apabila Majelis Hakim Yang Mulia atas dasar pertimbangannya berpendapat lain, Kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa memohon Putusan yang seadil-adilnya.


Demikian Nota Keberatan (Eksepsi) Kami sampaikan, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada Majelis Hakim Yang Mulia sehingga dapat memutus perkara ini dengan seadil-adilnya.

Hormat Kami,
Tim Penasihat Hukum Terdakwa
Lhokseumawe, 07 februari 2016
Kantor Advokat S.R and Associates



Sulaiman Zaini, S.H.,M.H                                                                            Rahmawati, S.H.


Surat Kuasa Khusus Perdata

SURAT KUASA KHUSUS


Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

            Nama                           :           Muhammad Alfadhil
            Tempat/tgl lahir           :           Panton Labu, 21 Maret 1985
            Agama                         :           Islam
            Tempat tinggal            :           Jl. Merdeka No. 31, Kota Lhokseumawe
            Pekerjaan                     :           Wiraswasta

Dengan ini memberi kuasa kepada :

            Nama                           :           Sulaiman Zaini,S.H
            Tempat tinggal            :           Pusong Baru, Kota Lhokseumawe
            Pekerjaan                     :           Advokat/Pengacara
            Berkantor di                :           Sulaiman Zaini and Associates
            Alamat kantor             :           Jl. Samudera Baru No. 114, Kota Lhokseumawe

KHUSUS

Untuk mewakili pemberi kuasa sepenuhnya sebagai penggugat dalam perkara perdata wanprestasi dalam perkara No : 11/Pdt.G/2016/PN.LSM di pengadilan negeri Lhokseumawe melawan :

            Nama                           :           novizza assyifa
            Pekerjaan                     :           Wiraswasta
            Tempat tinggal            :           Jl. Lilawangsa No. 10, Kota Lhokseumawe

Selanjutnya disebut sebagai tergugat.

Untuk itu penerima kuasa membela hak-hak dan mengurus kepentingan pemberi kuasa, melakukan dan menerima segala pembayaran, membuat dan menerima kwitansi pembayaran. Penerima kuasa boleh bertindak dalam hal hukum terhadap setiap orang dalam segala persoalan yang berhubungan dengan perkara ini, memilih tempat kediaman hukum, menghadap hakim dan pejabat-pejabat instansi pemerintah di lingkup kediaman pemberi kuasa. Penerima kuasa boleh berperkara ke muka pengadilan negeri, mengajukan gugatan, memberikan jawaban, dan menolak saksi-saksi, menerima dan menolak perdamaian di muka pengadilan negeri, menandatangani surat perdamaian, memohon putusan dan turunan putusan pengadilan negeri, memohon agar putusan pengadilan negeri dijalankan. Penerima kuasa boleh membuat dan menandatangani surat serta melakukan segala apa yang perlu dan berguna untuk kepentingan pemberi kuasa, asal tidak dilarang/bertentangan/melanggar undang-undang, dan bila perlu penerima kuasa dapat memindahtangankan kekuasaannya itu sebagian atau sepenuhnya kepada orang lain (hak substitusi) dengan hak untuk menarik kembali pemindahan kuasa yang telah di berikan itu.

Lhokseumawe, 22 Februari 2016

Penerima Kuasa                                                                               Pemberi Kuasa


                                                                                               
        (Sulaiman Zaini. S.H)                                                                    (Muhammad Alfadhil)

Surat Kuasa Khusus Pidana

SURAT KUASA KHUSUS



Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
            Nama                           :           Muhammad Alfadhil
            Tempat/tgl lahir           :           Panton Labu, 21 Maret 1993
            Agama                         :           Islam
            Tempat tinggal            :           Jl. Merdeka No. 31, Kota Lhokseumawe
            Pekerjaan                     :           Wiraswasta


Dengan ini memberi kuasa kepada :
            Nama                           :           Sulaiman Zaini,S.H
            Tempat tinggal            :           Pusong Baru, Kota Lhokseumawe
            Pekerjaan                     :           Advokat/Pengacara
            Berkantor di                :           Sulaiman Zaini And Associates
            Alamat kantor             :           Jl. Samudera Baru No. 114, Kota Lhokseumawe



KHUSUS


Untuk mendampingi pemberi kuasa sebagai terdakwa sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP dalam perkara Nomor 11/pid.B/2016/PN/LSM di Pengadilan Negeri Lhokseumawe.
Selanjutnya untuk dan atas nama pemberi kuasa berhak menghadap dan berbicara di muka pengadilan serta instansi-instansi atau pejabat-pejabat lainnya yang berwenang, membaca berkas perkara, membuat surat-surat atau menandatangani surat tersebut, menyusun dan menandatangani eksepsi, mengajukan permohonan-permohonan yang baik dan berguna bagi pemberi kuasa, mengajukan permohonan-permohonan yang baik dan berguna bagi pemberi kuasa, mengajukan dan menandatangani pembelaan (pledoi), membantah dan menjawab hal-hal yang tidak benar, mengajukan bukti-bukti surat dan saksi-saksi dan/atau menolak mereka sehubungan dengan perkara tersebut. Singkatnya penerima kuasa diberikan hak dan wewenang segala sesuatunya yang baik dan berguna bagi pemberi kuasa yang diperkenankan dalam peraturan-peraturan yang berlaku dengan tidak ada yang di kecualikan .
Surat kuasa ini diberikan dengan hak substitusi.




Lhokseumawe, 29 Februari 2016

    Penerima Kuasa                                                                  Pemberi Kuasa       



(Sulaiman Zaini. S.H.,M.H)                                              (Muhammad Alfadhil)

Status Kepemilikan Properti Bagi WNA Akibat Perkawinan Campuran

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Pernikahan bersifat universal dan tidak dibatasi oleh warna kulit, ras dan kewarganegaraan. Tidak mengherankan jumlah perkawinan campuran terus bertambah, termasuk di Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan melakukan perkawinan campuran antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.

1.      RUMUSAN MASALAH
a.       Perkawinan Campuran.
b.      Status Kepemilikan Properti Bagi WNA Akibat Perkawinan Campuran.

2.      TUJUAN PENULISAN
Untuk memudahkan mahasiswa supaya lebih mengetahui tentang perkawinan campuran dan hak-hak apa saja yang dapat dimiliki oleh WNA akibat dari perkawinan campuran.

3.      METODE PENELITIAN
a.       Studi pustaka
-          Buku-buku
-          Internet
-          Literatur


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERKAWINAN CAMPURAN
a.      Pengertian perkawinan campuran.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.




B.     STATUS KEPEMILIKAN PROPERTI BAGI WNA AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN.
Perkawinan campuran yang terjadi antara WNI dengan WNA tidak sepenuhnya menyebabkan WNA memperoleh kepemilikan properti WNI yang dinikahinya. Menurut pasal 21 ayat (3) UU No 5 Tahun 1960[1]
Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu/percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut/hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlaku.
Maka dalam hal perkawinan campuran demikian, WNI pelaku perkawinan campuran tidak dapat memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal ini karena dalam pasal 35 UU Perkawinan dinyatakan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta di sini, dan pasangan yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha.
Akan tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan, dengan catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan sebelum menikah, yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak tersebut adalah menjadi milik masing-masing.
Yang harus diingat, perjanjian perkawinan untuk memisahkan harta tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan. Ini sesuai dengan definisi perjanjian perkawinan dalam pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, yaitu: Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Apabila pelaku perkawinan campuran tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelum perkawinan, maka mereka tidak dapat memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha atau Hak Guna Bangunan. Akan tetapi mereka bisa menjadi pemegang Hak Pakai. Sebagaimana dijelaskan di atas, Hak Pakai dapat dipegang oleh seorang WNA, sehingga tidak ada masalah walaupun sang pasangan masih berstatus WNA.
Dengan demikian, kepemilikan atas tanah dan bangunan, terbatas hanya tanah-tanah yang berstatus Hak Pakai dan Hak Sewa, terkecuali para pihak dalam perkawinan campuran tersebut membuat perjanjian kawin sebelum menikah. Dengan adanya perjanjian kawin, maka tidak terdapat percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing.
Jika pasangan suami isteri menikah tanpa perjanjian kawin, dan berlangsung sebelum jangka waktu satu tahun dicatatkan, hak atas tanah masih dimungkinkan dialihkan kepada pihak ketiga[2] Jika ternyata perkawinan sudah melewati masa satu tahun, berlakulah ketentuan hak milik dan Hak Guna Bangunan dalam UUPA. Artinya, tanah tersebut menjadi dikuasai negara. Bentuk pengalihan jual belinya bukan lagi dalam bentuk akta PPAT, melainkan dengan akta notaril dengan judul ‘Jual Beli dengan Pelepasan Hak’. Jadi, WNI yang sudah terlanjur menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin, sebaiknya tanah yang dimiliki di Indonesia segera dipindah-tangankan dengan cara dijual atau dihibahkan kepada orang tua, anak, saudara kandung atau kerabat sebelum diketahui oleh pemerintah yang dapat menyebabkan hak atas tanah tersebut hapus dan jatuh kepada Negara tanpa ganti rugi sesuai dengan peraturan Pasal 21 (ayat 3) UUPA.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Perkawinan campuran yang terjadi antara WNI dengan WNA tidak sepenuhnya menyebabkan WNA memperoleh kepemilikan properti WNI yang dinikahinya. Menurut pasal 21 ayat (3) UU No 5 Tahun1960 : Orang asing yang setelah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu/percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 tahun sejak diperolehnya hak tersebut/hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau, Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlaku.

B.     SARAN
Mudah – mudahan tulisan singkat ini dapat membawa manfaat bagi kami khususnya dan kawan-kawan umumnya, guna menambah khasanah pengetahuan yang telah ada. Sebagaimana telah kami ungkapkan dalam awal makalah ini, mengingat keterbatasan pengetahuan kami, kiranya kritik dan saran amat kami perlukan untuk kebaikan kita semua.



DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bf0f8d38392d/Talkhukumonline—discussion.
http://irmadevita.com/2012/kewarganegaraan-status-pemilikan-tanah-warisan-pada-perkawinan-campuran/.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7051/kepemilikan-properti-%28kaitannya-dengan-pernikahan-dengan-pria-wna%29.
UU No 5 Tahun1960 tentang pokok Agraria.








1). Undang-undang pokok Agraria.
[2]).  Winanto Wiryomartani  dalam artikel hukum online.

Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kelembagaan negara yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Perubahan tersebut antara lain Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat [2] UUD 1945) dan pengurangan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga tinggal berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [1] UUD 1945), melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat [2] UUD 1945), memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [3] UUD 1945), menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden (Pasal 8 ayat [2] UUD 1945), dan menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Prediden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan (Pasal 8 ayat [3] UUD 1945).
Perubahan struktur kelembagaan negara tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang ada. Selain itu perubahan tersebut memengaruhi aturan-aturan yang berlaku menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Oleh karena itu Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945). Hasil peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tersebut telah diambil putusannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2003 dan telah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2003 dalam bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kedudukan TAP MPR RI dalam hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ?
2.      Bagaimana Substansi Ketetapan MPRS/MPR Menurut TAP MPR NO 1/MPR/2003 ?

C.    METODE PENELITIAN
-          Buku-buku
-          Internet

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Indonesia.
Berkaitan dengan kedudukan TAP MPR. Dalam hal ini TAP MPR
mengandung norma-norma hukum yang pada hakekatnya sama dengan UUD 1945 namun setingkat lebih rendah dari norma hukum UUD 1945. Karenanya
dapat digolongkan sebagai aturan dasar Negara/aturan pokok negara  (Staatsgrundgesetz).Sehingga, menurut Attamimi, menggolongkan UUD 1945 dan TAP MPR ke dalam salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah tidak benar, namun menempatkan keduanya di atas UU adalah benar. Terhadap kegiatan pembentukan peraturan perundang-undanganTAP MPR pada hakekatnya bukan merupakan asas hukum dalam arti hetrecthsbeginsel menurut Scholten yang menunjuk pada pertimbangan susila (het zedelijk oordeel). TAP MPR adalah norma hukum meski dalam bentuk aturan dasar atau aturan pokok Negara (grundgesetz), namun demikian TAP MPR memberikan pedoman dan bimbingan kepada kegiatan pembentukan peraturanperundang-undangan, namun mengandung sifat yang normative.
TAP MPR memberikan pedoman dan bimbingan kepada kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan secara materiil. Dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bukanlah penambahan materi baru tetapi memperbaiki kesalahan pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan dalam Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, khususnya Pasal 1 Ayat (2).Perubahan dalam Pasal 1 Ayat (2) telahmengubah struktur kekuasaan negara sebagai implementasi dari prinsip kedaulatan rakyat.Perubahan tersebut membawa konsekuensi perubahan struktur kelembagaan negara dan wewenang lembaga-lembaga negara
Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”Ketentuan tersebut berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan tersebut setidaknya membawa lima konsekuensi dasar. Pertama, penegasan bahwa prinsip demokrasi yang merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam pelaksanaannya harus mengikuti prinsip negara hukum yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Kedua, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi memegang kekuasaan sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, sehingga dengan sendirinya tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.Ketiga, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh organ-organ konstitusi sesuai dengan yang ditentukan oleh UUD, sehingga organ-organ itu tidak dapat lagi dibedakan secara hierarkis (setidaknya dapat dikatakan sederajat), tetapi dibedakan menurut fungsi dan wewenang yang diberikan olehUUD 1945.Keempat, terjadi perubahan wewenang yang dimiliki oleh lembaga negara, khususnya MPR.Kelima, terjadi perubahan hubungan antara lembaga negara yang lebih mencerminkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi.
Sebelum Perubahan UUD 1945, MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga lembaga-lembaga negara lain memperoleh mandat dari MPR. Untuk menjalankan kekuasaan tersebut, UUD 1945 sebelum perubahan memberikan wewenang kepada MPR untuk menetapkan UUD dan garis-garis besar dari pada haluan negara (Pasal 3 sebelum Perubahan).Untuk menjalankan wewenang tersebut produk hukum yang dihasilkan oleh MPR adalah UUD dan Ketetapan MPR. Lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan mandat untuk melaksanakan ketetapan MPR dan mempertanggungjawabkan kepada MPR.[1]
Adanya perubahan implementasi prinsip kedaulatanrakyat dalam UUD 1945 mengakibatkan perubahan kedudukan dan wewenang MPR.Sejak semualembaga negara mendapatkan kekuasaan dari UUD 1945, maka MPR tidak lagi memiliki wewenang membentuk Ketetapan MPR. MPR lebih berfungsi sebagai lembaga konstituante (berwenang mengubah danmenetapkan UUD) dan berfungsi “semacam” joint session dari dua lembaga parlemen, yaitu DPR danDPD. Oleh karena itu Ketentuan Pasal 3 UUD 1945berubah menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
TAP MPR Nomor I/MPR/2003 menentukan 6 kategori status hukum TAP MPRS/MPR yang sudah ada, yaitu:
1.      Tap MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2.      Tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku.
3.       Tap MPR yang berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004.
4.      Tap MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU yang mengatur substansi yang sama.
5.      Tap MPR tentang Tata Tertib MPR RI yang masih berlaku sampai ditetapkannya Peraturan Tata tertib MPR yang baru.
6.      Tap MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut Karena bersifat einmalig.
Berdasarkan kategori di atas, walaupun MPR tidak lagi berwenang
membentuk Ketetapan namun masih terdapat kategori Tap MPR yang
masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-
undang, serta kategori TapMPR yang dapat masih berlaku sepanjang
belum diatur dalam UU.

B.      Substansi Ketetapan MPRS/MPR Menurut TAP MPR NO 1/MPR/2003
Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139 dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status hukumnya. Substansi Ketetapan MPR tersebut adalah:
  1. Kategori I: TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan)
  2. Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)
  3. Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan)
  4. Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan)
  5. Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan)
  6. Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)
Tap MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut karena bersifat einmalig. Berdasarkan kategori di atas, walaupun MPR tidak lagi berwenang membentuk Ketetapan namun masih terdapat kategori Tap MPR yang
masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang, serta kategori TapMPR yang dapat masih berlaku sepanjang belum diatur dalam UU. Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah:
1.      Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, PernyataanSebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme; dan
Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Sesungguhnya dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003
2.      terdapat satu ketetapan lain yang dinyatakan masih berlaku, yaitu Ketetapan Majelis Permusyawararan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur. Namun disebutkan bahwa Tap itu masih tetap berlaku sarnpai dengan terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999. Dengan telah selesainya pemisahanTimor-Timur berdasarkan hasil jajak pendapat dan telah menjadi negara sendiri yang diakui Indonesia maka Ketetapan itu sudah selesai dilaksanakan.

Sedangkan Tap MPR yang dapat masih berlaku sepanjang belum diatur dalam UU, meliputi:
1.      Tap MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera.
2.      Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme.
3.      Tap Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.      Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukumdan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
5.      Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
6.      Tap MPR Nomor VI/MPRI 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7.      Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8.      Tap MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
9.      Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
10.  Tap MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
11.  Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Saat ini telah terdapat beberapa Undang-Undang yang mengatur substansi Tap di atas sehingga berdasarkan Pasal 4 TapMPR Nomor I/MPR/2003 Tapterkait sudah tidak berlaku, walaupundalam UU itu tidak mecabut Tap MPR terkait. Misalnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, substansinya telah diatur dalam UU Nomor 10Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 merupakan Ketetapan MPR pengunci dari seluruh Ketetapan MPRS dan MPR. Di masa mendatang MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan garis-garis besar daripada haluan negara dalam bentuk ketetapan MPR sebagaimana masa lalu dikarenakan perubahan sistem ketata negaraan dimana MPR hanya menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya dan bukan lembaga tertinggi negara lagi. Untuk menghindari kekosongan hukum akibat perubahan sistem ketata negaraan ini maka Aturan Tambahan Pasal I memerintahkan MPR untuk melakukan peninjauan yang digunakan sebagai payung hukum status seluruh Ketetapan MPRS dan MPR.
Selain Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, MPR juga mengeluarkan ketetapan terakhir MPR yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/2003 tentang Perubahan Kelima atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang juga hanya berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum 2004. Ketetapan MPR yang terakhir kalinya ini juga ditetapkan di Jakarta pada hari yang sama yaitu tanggal 7 Agustus 2003.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 merupakan Ketetapan MPR pengunci dari seluruh Ketetapan MPRS dan MPR. Di masa mendatang MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan garis-garis besar daripada haluan negara dalam bentuk ketetapan MPR sebagaimana masa lalu dikarenakan perubahan sistem ketata negaraan dimana MPR hanya menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya dan bukan lembaga tertinggi negara lagi. Untuk menghindari kekosongan hukum akibat perubahan sistem ketata negaraan ini maka Aturan Tambahan Pasal I memerintahkan MPR untuk melakukan peninjauan yang digunakan sebagai payung hukum status seluruh Ketetapan MPRS dan MPR.

B.     SARAN
Harus ada lembaga yang berwenang untuk menguji ketetapan MPR RI jika bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal ini untuk menghindari agar tidak terjadi kekosongan hukum dan menjamin keadilan substansif.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamini, 1981,  UUD 1945- TAB MPR Undang-undang (kaitan norma hukum ketigannya), Jakarta

Maria Farida Indrati Soeprapto,1998. Ilmu perundang-undangan, Dasar-dasar dan pembentukannya,Yogyakarta: KANISIUS

Mukhlis, 2011,  Ilmu perundang-undangan, Medan: Ratu Jaya

Yasir, Armen. 2008. Hukum Perundang-undangan. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

TAP MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum  Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.




[1] Konstruksi hubungan antara MPR dan lembaga tinggi negara ini secara penuh diterapkan di awal masa reformasi pada tahun 1999 sampai 2002, di mana semua lembaga tinggi negara adalah mandataris MPR sehingga harus menjalankan ketetapan MPR dan melaporkan kepada MPR melalui Sidang Tahunan. Pada masa Orde Baru konstruksi mandataris MPR hanya dilekatkan kepada Presiden.