BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan landasan utama dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara bagi Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengakibatkan terjadinya perubahan struktur kelembagaan negara yang berlaku di
Negara Republik Indonesia.
Perubahan
tersebut antara lain Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat [2] UUD 1945) dan pengurangan
wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga tinggal berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat [1] UUD 1945), melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat [2] UUD 1945), memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar
(Pasal 3 ayat [3] UUD 1945), menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil
Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden jika terjadi kekosongan
Wakil Presiden (Pasal 8 ayat [2] UUD 1945), dan menyelenggarakan sidang untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Prediden dan Wakil Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan (Pasal 8 ayat [3] UUD 1945).
Perubahan
struktur kelembagaan negara tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang lembaga negara dan lembaga pemerintahan
yang ada. Selain itu perubahan tersebut memengaruhi aturan-aturan yang berlaku
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
mengakibatkan perlunya dilakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Oleh karena itu Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan
status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945). Hasil
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia tersebut telah diambil putusannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2003 dan telah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus
2003 dalam bentuk Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
kedudukan TAP MPR RI dalam hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ?
2. Bagaimana
Substansi Ketetapan MPRS/MPR Menurut TAP MPR NO 1/MPR/2003 ?
C. METODE PENELITIAN
-
Buku-buku
-
Internet
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
TAP MPR RI Dalam Hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Indonesia.
Berkaitan dengan kedudukan TAP MPR.
Dalam hal ini TAP MPR
mengandung norma-norma hukum yang pada hakekatnya sama
dengan UUD 1945 namun setingkat lebih rendah dari norma hukum UUD 1945.
Karenanya
dapat digolongkan sebagai aturan dasar Negara/aturan
pokok negara (Staatsgrundgesetz).Sehingga,
menurut Attamimi, menggolongkan UUD 1945 dan TAP MPR ke dalam salah satu jenis
peraturan perundang-undangan adalah tidak benar, namun menempatkan keduanya di
atas UU adalah benar. Terhadap kegiatan pembentukan peraturan
perundang-undanganTAP MPR pada hakekatnya bukan merupakan asas hukum dalam arti
hetrecthsbeginsel menurut Scholten yang menunjuk pada pertimbangan susila (het
zedelijk oordeel). TAP MPR adalah norma hukum meski dalam bentuk aturan dasar
atau aturan pokok Negara (grundgesetz), namun demikian TAP MPR memberikan
pedoman dan bimbingan kepada kegiatan pembentukan peraturanperundang-undangan,
namun mengandung sifat yang normative.
TAP MPR memberikan pedoman dan
bimbingan kepada kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan secara
materiil. Dimasukannya kembali Tap MPR sebagai salah satu jenis Peraturan
perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bukanlah penambahan materi baru
tetapi memperbaiki kesalahan pada UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Salah satu perubahan mendasar dalam
UUD 1945 adalah perubahan dalam Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, khususnya
Pasal 1 Ayat (2).Perubahan dalam Pasal 1 Ayat (2) telahmengubah struktur kekuasaan
negara sebagai implementasi dari prinsip kedaulatan rakyat.Perubahan tersebut
membawa konsekuensi perubahan struktur kelembagaan negara dan wewenang lembaga-lembaga
negara
Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan
menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat.”Ketentuan tersebut berubah menjadi “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan
tersebut setidaknya membawa lima konsekuensi dasar. Pertama, penegasan bahwa
prinsip demokrasi yang merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam pelaksanaannya
harus mengikuti prinsip negara hukum yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Kedua,
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi memegang kekuasaan sebagai
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, sehingga dengan sendirinya tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi negara.Ketiga, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh organ-organ
konstitusi sesuai dengan yang ditentukan oleh UUD, sehingga organ-organ itu
tidak dapat lagi dibedakan secara hierarkis (setidaknya dapat dikatakan
sederajat), tetapi dibedakan menurut fungsi dan wewenang yang diberikan olehUUD
1945.Keempat, terjadi perubahan wewenang yang dimiliki oleh lembaga negara,
khususnya MPR.Kelima, terjadi perubahan hubungan antara lembaga negara yang
lebih mencerminkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi.
Sebelum Perubahan UUD 1945, MPR
adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat sehingga lembaga-lembaga negara
lain memperoleh mandat dari MPR. Untuk menjalankan kekuasaan tersebut, UUD 1945
sebelum perubahan memberikan wewenang kepada MPR untuk menetapkan UUD dan
garis-garis besar dari pada haluan negara (Pasal 3 sebelum Perubahan).Untuk
menjalankan wewenang tersebut produk hukum yang dihasilkan oleh MPR adalah UUD
dan Ketetapan MPR. Lembaga-lembaga tinggi negara menjalankan mandat untuk
melaksanakan ketetapan MPR dan mempertanggungjawabkan kepada MPR.
Adanya perubahan implementasi
prinsip kedaulatanrakyat dalam UUD 1945 mengakibatkan perubahan kedudukan dan
wewenang MPR.Sejak semualembaga negara mendapatkan kekuasaan dari UUD 1945,
maka MPR tidak lagi memiliki wewenang membentuk Ketetapan MPR. MPR lebih
berfungsi sebagai lembaga konstituante (berwenang mengubah danmenetapkan UUD)
dan berfungsi “semacam” joint session dari dua lembaga parlemen, yaitu DPR
danDPD. Oleh karena itu Ketentuan Pasal 3 UUD 1945berubah menjadi “Majelis Permusyawaratan
Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
TAP MPR Nomor I/MPR/2003 menentukan
6 kategori status hukum TAP MPRS/MPR yang sudah ada, yaitu:
1.
Tap MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2.
Tap MPR yang dinyatakan tetap berlaku.
3.
Tap MPR yang
berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004.
4.
Tap MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
UU yang mengatur substansi yang sama.
5.
Tap MPR tentang Tata Tertib MPR RI yang masih berlaku
sampai ditetapkannya Peraturan Tata tertib MPR yang baru.
6.
Tap MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut Karena bersifat einmalig.
Berdasarkan kategori di atas,
walaupun MPR tidak lagi berwenang
membentuk Ketetapan namun masih terdapat kategori Tap
MPR yang
masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau
diganti dengan undang-
undang, serta kategori TapMPR yang dapat masih berlaku
sepanjang
belum diatur dalam UU.
B.
Substansi
Ketetapan MPRS/MPR Menurut TAP MPR NO 1/MPR/2003
Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR
tersebut, seluruh Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang berjumlah 139
dikelompokkan ke dalam 6 pasal (kategori) sesuai dengan materi dan status
hukumnya. Substansi Ketetapan MPR tersebut adalah:
- Kategori I: TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
(8 Ketetapan)
- Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
(3 Ketetapan)
- Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan)
- Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan)
- Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya
Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan)
- Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah
dicabut, maupun telah
selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)
Tap MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut karena bersifat einmalig. Berdasarkan kategori di atas, walaupun MPR
tidak lagi berwenang membentuk Ketetapan namun masih terdapat kategori Tap MPR
yang
masih tetap berlaku dan tidak dapat dicabut atau
diganti dengan undang-undang, serta kategori TapMPR yang dapat masih berlaku
sepanjang belum diatur dalam UU. Ketetapan-Ketetapan MPR yang masih tetap
berlaku dan tidak dapat dicabut atau diganti dengan undang-undang adalah:
1.
Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, PernyataanSebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faharn atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme; dan
Tap MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Sesungguhnya dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor
I/MPR/2003
2. terdapat
satu ketetapan lain yang dinyatakan masih berlaku, yaitu Ketetapan Majelis
Permusyawararan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan
Pendapat di Timor Timur. Namun disebutkan bahwa Tap itu masih tetap berlaku
sarnpai dengan terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1999. Dengan
telah selesainya pemisahanTimor-Timur berdasarkan hasil jajak pendapat dan
telah menjadi negara sendiri yang diakui Indonesia maka Ketetapan itu sudah
selesai dilaksanakan.
Sedangkan Tap MPR yang dapat masih berlaku sepanjang
belum diatur dalam UU, meliputi:
1.
Tap MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan
Pahlawan Ampera.
2.
Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme.
3.
Tap Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4.
Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukumdan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
5.
Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional.
6.
Tap MPR Nomor VI/MPRI 2000 tentang Pemisahan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7.
Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara
Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
8.
Tap MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
9.
Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan.
10. Tap MPR
Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
11. Tap MPR
Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Saat ini telah terdapat beberapa
Undang-Undang yang mengatur substansi Tap di atas sehingga berdasarkan Pasal 4
TapMPR Nomor I/MPR/2003 Tapterkait sudah tidak berlaku, walaupundalam UU itu
tidak mecabut Tap MPR terkait. Misalnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, substansinya
telah diatur dalam UU Nomor 10Tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU Nomor
12 Tahun 2011.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai
Dengan Tahun 2002 merupakan Ketetapan MPR pengunci dari seluruh Ketetapan MPRS
dan MPR. Di masa mendatang MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan garis-garis
besar daripada haluan negara dalam bentuk ketetapan MPR sebagaimana masa lalu
dikarenakan perubahan sistem ketata negaraan dimana MPR hanya menjadi lembaga
negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya dan bukan lembaga tertinggi
negara lagi. Untuk menghindari kekosongan hukum akibat perubahan sistem ketata
negaraan ini maka Aturan Tambahan Pasal I memerintahkan MPR untuk melakukan
peninjauan yang digunakan sebagai payung hukum status seluruh Ketetapan MPRS
dan MPR.
Selain
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, MPR juga
mengeluarkan ketetapan terakhir MPR yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Nomor II/MPR/2003 tentang Perubahan Kelima atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang juga hanya berlaku
sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia hasil Pemilihan Umum 2004. Ketetapan MPR yang
terakhir kalinya ini juga ditetapkan di Jakarta pada hari yang sama yaitu
tanggal 7 Agustus 2003.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 merupakan Ketetapan MPR pengunci
dari seluruh Ketetapan MPRS dan MPR. Di masa mendatang MPR tidak lagi berwenang
mengeluarkan garis-garis besar daripada haluan negara dalam bentuk ketetapan
MPR sebagaimana masa lalu dikarenakan perubahan sistem ketata negaraan dimana
MPR hanya menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya dan
bukan lembaga tertinggi negara lagi. Untuk menghindari kekosongan hukum akibat
perubahan sistem ketata negaraan ini maka Aturan Tambahan Pasal I memerintahkan
MPR untuk melakukan peninjauan yang digunakan sebagai payung hukum status
seluruh Ketetapan MPRS dan MPR.
B.
SARAN
Harus ada lembaga yang berwenang
untuk menguji ketetapan MPR RI jika bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal ini untuk menghindari agar tidak
terjadi kekosongan hukum dan menjamin keadilan substansif.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Hamid S. Attamini, 1981, UUD 1945- TAB MPR Undang-undang (kaitan
norma hukum ketigannya), Jakarta
Maria Farida Indrati Soeprapto,1998. Ilmu perundang-undangan, Dasar-dasar dan
pembentukannya,Yogyakarta: KANISIUS
Mukhlis, 2011, Ilmu perundang-undangan, Medan: Ratu Jaya
Yasir, Armen. 2008. Hukum
Perundang-undangan. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Konstruksi hubungan antara MPR dan
lembaga tinggi negara ini secara penuh diterapkan di awal masa reformasi pada
tahun 1999 sampai 2002, di mana semua lembaga tinggi negara adalah mandataris
MPR sehingga harus menjalankan ketetapan MPR dan melaporkan kepada MPR melalui
Sidang Tahunan. Pada masa Orde Baru konstruksi mandataris MPR hanya dilekatkan
kepada Presiden.