KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk
dapat menyelesaikan Makalah Hukum perbankan dengan judul “ANALISIS PEMISAHAN WEWENANG
PENGAWASAN BANK PADA MASA TRANSISI BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN
ini. Dengan adanya makalah ini, kami berharap agar kawan-kawan mahasiswa Dapat
mengetahui lebih jelas tentang Kewenangan pengawasan BI yang di alihkan ke OJK.
Kritik dan saran benar-benar kami harapkan guna penyempurnaan lebih lanjut sehingga
dapat membawa manfaat lebih bagi kita semua.
Lhokseumawe,
20 Oktober 2015
Sulaiman
zaini
Nim
: 130510080
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar .............................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan ................................................................. 1
A.
Latar Belakang ............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................ 3
C.
Metode Penelitian .............................................................................. 3
Bab II Pembahasan .................................................................. 4
A. Pengertian,
Tujuan dan Tugas Bank Indonesia .............................. 4
B. Pengerian,
Fungsi dan Tugas OJK ......................................... 4
C.
Analisis
Kewenangan Pengawasan Bank
Pada
Masa Transisi BI dan OJK ......................................... 5
Bab III Penutup ............................................................................. 11
A.
Kesimpulan ............................................................................. 11
B.
Saran ......................................................................................... 12
Daftar Pustaka .............................................................................. 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sistem
keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan
berfungsi dalam mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial
kepada pihak yang megalai defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak
stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan
berjalan dengan baik sehingga hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi[1].
Sektor perbankan merupakan bagian dari sistem
keuangan yang memiliki peran strategis bagi perekonomian suatu negara. Tidak
ada suatu negara modern yang iklim perekonomiannya dapat tumbuh dan berkembang
pesat tanpa peran perbankan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa arah dan
kebijakan perekonomian suatu negara pada umumnya sangat dipengaruhi oleh dua
kebijakan yang menjadi payung landasan bagi ekonomi makro suatu negara, yaitu
kebijakan moneter (monetary policies) dan kebijakan fiskal (fiscal
policies)[2].
Bank Sentral Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan wewenngnya yang telah diatur dalam undang- undang, yaitu UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia, dan telah diamandemen menjadi UU No.6/ 2009
dimana dalam UU tersebut pula ditegaskan bahwa Bank Indonesia merupakan suatu
lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang tersebut. Bank Indonesia mempunyai satu
tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata
uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memilki tiga pilar utama yang
meliputi, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank[3]
Masih sangat melekat dalam ingatan kita bersama
bagaimana krisis ekonomi dan krisis keuangan yang meluluhlantakan perekonomian
Indonesia beberapa tahun yang lalu. Bagi pembuat kebijakan seperti Bank
Indonesia misalnya, krisis ekonomi dan keuangan tersebut merupakan suatu
kejadian mahal yang dapat digunakan untuk melakukan refleksi, mengambil pelajaran
atas kejadian yang baru saja dilewati dan melakukan penyesuaian atas apa yang dilakukan
selama ini[4]
Krisis 1997 yang menimpa Indonesia akibat Imbas dari
Thailand tersebut benar- benar menghancurkan fundamental ekonomi Indonesia
dimana pada saat itu Indonesia menunjukan tingkat Inflasi yang rendah, surplus
perdagangan yang mencapai lebih dari USD 900juta, cadangan devisa yang sangat
besar lebih dari USD 20Milyar dan sektor perbankan yang banyak ditutup karena
kinerja yang kurang baik (Bank Indonesia : 2010). Belum lepas dari ingatan
ketika krisis 1997 yang menghancurkan fundamental perekonomian Indonesia, Putaran
krisis ekonomi dan keuangan global tahun 2008 pasca kehancuran Lehman Brothers menimbulkan
kekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global, termasuk melibas industri perbankan
di Indonesia dan kemudian dilanjutkan dengan kabar runtuhnya Bank Century.
Beberapa permasalahan tersebut menunjukan bahwa
efektifitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tanggung jawabnya terutama
sebagai pengatur dan pengawas bank dinilai gagal. Akibat kegagal tersebut,
pemerintah Indonesia memberikan perhatiannya dengan membentuk suatu sistem
pengawasan baru yang independen yang bertujuan untuk melindungi konsumen dan
meningkatkan efisiensi lembaga keuangan. Lembaga pengawasan independen ini
adalah Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut OJK. Keberadaan OJK,
secara otomatis memisahkan fungsi pengawasan makroprudensial dan
mikroprudensial dimana secara konseptual, Bank Indonesia akan bertanggung jawab
mengawal sektor perbankan pada aspek makro (macro-prudential) sedangkan
tanggung jawab pengawasan mikro (microprudential) ada dibawah kendali
OJK.
Indonesia memang bukan negara pertama yang mencoba
menerapkan lembaga pengawasan yang independen. Indonesia dalam hal ini patut
melihat pengalaman Financial Service Authority (FSA) di Inggris.
FSA gagal melakukan pengawasan terhadap Northern Rock yang menyebabkan lembaga
tersebut mengalami kegagalan pada saat krisis keuangan di tahun 2008. FSA juga
dinilai gagal melakukan koordinasi dengan Bank of England (BoE) terkait
Northern rock Bank. Adanya kegagalan koordinasi FSA tersebut diakibatkan oleh
tidak adanya diseminasi informasi (data sharing) terkait lembaga
keuangan dan koordinasi dengan BoE terutama pada saat krisis. FSA dinilai hanya
fokus pda salah satu fungsinya yaitu pengawasan conduct of business sedangkan
fungsi regulasi sektor keuangan cenderung diabaikan. Kegagalan FSA ini membuat
fungsi regulasi dan pengawasan sektor keuangan dikembalikan kepada BoE[5].
Kegagalan FSA tersebut tentunya menimbulkan
kekhawatiran bagi Indonesia dimana negara berkembang berani mengambil keputusan
untuk membentuk lembaga independen yang baru padahal faktanya Indonesia dirasa
kurang memiliki Good Corporate Governance (GGC) yang baik, dan masih
adanya kekhawatiran financial instability yang mungkin akan muncul dan
adanya asimetris informasi dengan adanya dua kewajiban dalam dua lembaga yang
berbeda.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian
Bank Indonesia.
2. Pengertian
OJK.
3. Menganalisa
Kewenangan Pengawasan BI dan OJK.
C.
METODE
PENELITIAN
1. Metode
penelitian Kualitatif.
2. Studi
Pustaka :
-
Buku-buku dan Internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian,
Tujuan dan Tugas Bank Indonesia.
Menurut UU No. 3 Tahun
2004 Bank sentral adalah lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk
mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu Negara, merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran system
pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan serta menjalani fungsi
sebagai lender of the last resort.
Tujuan Bank Indonesia
sebagai bank sentral tercantum pada UU
No. 3 Tahun 2004 pasal 7 adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
. untuk mencapai tujuan tersebut , sesuai undang-undang Bank Indonesia
mempunyai tiga tugas yaitu :
1.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2.
Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran, dan
3.
Mengatur dan mengawasi bank.
Tetapi pada tanggal 31
Desember 2013 tugas pengawasan perbankan resmi dilimpahkan kepada OJK melalui
Undang-undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
B.
Pengerian,
Fungsi dan Tugas OJK.
Menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), OJK adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta
penyidikan sector jasa keuangan di Indonesia.
Dalam Undang-undang
tersebut juga dijelaskan bahwa Ojk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
terhadap :
1.
Kegiatan jasa keuangan di sector perbankan;
2.
Kegiatan jasa keuangan di sector pasar modal; dan
3.
Kegiatan jasa keuangan di sector perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan,
dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Sedangkan OJK memiliki
dua bentuk wewenang yaitu wewenang pengaturan dan wewenang pengawasan. Wewenang
Pengaturan OJK adalah menetapkan :
1.
Peraturan pelaksanaan UU OJK;
2.
Peraturan perundang-undangan di sector jasa keuangan;
3.
Peraturan mengenai pengawasan;
4.
Peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis.
Dan wewenang Pengawasan OJK adalah :
1.
Melakukan pengawasan dan perlindungan konsumen sector perbankan, pasara modal
& Industri Keuangan Non Bank (IKNB)
2. Memberikan dan atau
mencabut izin usaha; pengesahan; persetujuan; atau penetapan pembubaran;
3. Memberikan
perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan menunjuk pengelola statuer.
4. Menetapkan
sanksi administratif.
Dilihat dari tinjauan
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa OJK ternyata lebih memiliki fungsi dan
wewenang pengawasan secara mikro , berbeda dengan BI yang lebih menekankan pada
ruang lingkup makro.
C.
Analisis
Kewenangan Pengawasan Bank Pada Masa Transisi BI dan OJK
1.
Evolusi
Fungsi Pengawasan Perbankan Bank Indonesia dan Isu-isu Normatif terkait Pemisahan
Wewenang Pengawasan Bank.
Krisis
Ekonomi 1997
Krisis
ekonomi di Asia dimulai dengan terjadinya krisis nilai tukar mata uang di Asia
terhadap dolar Amerika. Krisis nilai tukar mata uang ini dimulai dari Thailand
yang kemudian menjalar ke Korea dan
Indonesia. Meksiko yang mengalami krisis di akhir tahun 1994 dan berlanjut hingga tahun 1995, juga
dialami oleh beberapa negara- negara di Asia tenggara[6].
Indonesia
mengalami depresiasi mencapai angka 83% pada tahun 1998, dibandingkan dengan empat negara Asia Tenggara
lainnya yang depresiasi justru menurun Indonesia mengalami depresiasi yang cenderung meningkat. Dalam kondisi depresiasi yang
tinggi ini pemerintah secara implisit
membentuk signal kepada pasar bahwa tidak perlu adanya proteksi terhadap
perubahan nilai tukar mata uang
asing terhadap rupiah. Kebijakan ini secara otomatis memerlukan penyesuaian terhdap kebijakan suku
bunga tanpa mengesampingkan faktor inflasi.
Puncak
krisis ekonomi Indonesia terjadi ditahun 1998, pertumbuhan ekonomi terjerembab mengalami kontraksi menuju
angka -13% dan inflasi meroket hingga mencapai 77,6%. Selain itu, pengangguran dan kemiskinan melonjak sangat tajam.
Rupiah semakin terdepresiasi hingga
angka 7% menjadi Rp. 2.600 per dolar yang diikuti oleh pelarian modal gelombang pertama dari international
mutual funds dan hedge funds. Karena tingginya tekanan tersebut, pada 14 agustus diberlakkan free
floating rate terhadap rupiah yang ditandai dengan pelepasan band intervensi serta
pengetatan kebijakan moneter.
Krisis
tahun 1997 membuat Bank-Bank di Indonesia mengalami perubahan yang besar. Pada
Juni 1997 dilakukan kajian perbakan yang dimaksudkan untuk mengetahui bank-bank
yang mungkin dalam keadaan insolvent atau kondisi keuangan dimana suatu
bank asetnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai kewajibannya. Dari hasil
pengkajian terhadap 92 bank yang diseleksi pada saat itu antara lain ; 34 bank
dinilai tidak solvent (termasuk 2 bank pemerintah, 6 bank pembangunan daeran
dan 26 bank swasta), 16 dinilai poor, 28 bank unsound dan 14 bank
sound. Dalam paket penyehatan perbankan yang dituangkan dalam Letter
of Intent yang disepakati serta ditandatangani oleh pemerintah dan IMF
terdapat 16 bank yang ditutup dikarenakan faktor insolvent dan lemah
pada 1 November 1997. Proses penutupan 16 bank berlangsung lancar dan efektif,
meskipun Bank Indonesia tidak berpengalaman menutup bank. Pada awalnya reaksi
pertama dari pengumuman atas program tersebut cukup positif. Nilai kurs rupiah
menguat setelah turun tajam. Setelah dua minggu, diperoleh tanggapan positif
atas LoL pertama dan rupiah kembali menguat pada Rp.3000 perdolar AS. Akan
tetapi, hal ini tidak bertahan lama dan kepercayaan publik mulai goyah karena
beberapa alasan. Pertama, penutupan bank yang tidak terencana dan tidak
dilaksanakan dengan baik. Kedua, kurang transparannya proses pemulihan
perekonomian. Ketiga, tidak adanya kejelasan tentang kriteria dan dasar
dalam menentukan bank yang akan ditutup. Hingga pada awal desember 1997,
penarikan dana secara besar-besaran dilakukan oleh deposan di hampir semua
bank. Hal ini dipicu karena menguaknya rumor akan diadakannya penutupan bank
lagi. Padahal yang terjadi adalah pengalihan uang dari bank yang lemah ke bank
yang berkualitas.
Krisis Ekonomi
2008
Belum
lepas dari ingatan ketika krisis 1997 memporak-porandakan perekonomian Indonesia,dinamika
perekonomian Indonesia kembali mengalami kemerosotan ditahun 2008. Diawali pada
pertengahan tahun 2007, terjadi krisis yang dipicu oleh gagal bayar di kelompok
subprime, yang kemudian memicu pecahnya bubble di sektor
properti. Dan pada akhirnya di tahun 2008, Indonesia dibayangi oleh tekanan
yang cukup berat. Yang merupakan imbas dari ketidakpastian pasar finansial
global yang mengalami peningkatan dan membuat proses pelambatan ekonomi dunia
yang signifikan serta perubahan harga komoditas global yang sangat drastis[7].
Krisis
ditahun 2008 dipicu oleh kebijakan pemerintah AS yang cenderung ekspansif. Kebijakan
pemerintah yang akomodatif pada saat sebelum terjadinya krisis, memicu maraknya
praktik penyaluran kredit berisiko tinggi. Lebih jauh lagi, meningkatnya
insentif pinjaman (seperti kemudahan syarat mengajukan pinjaman) yang didukung
tren jangka panjang peningkatan harga rumah telah mendorong debitur untuk
mengajukan kredit KPR yang lebih berisiko, dengan berharap dapat melakukan refinancing
pada suku bunga yang lebih rendah.
Pada
September 2008, rata-rata harga rumah di AS telah turun 20% dari level tertingginya
di pertengahan tahun 2006. Gagal bayar di sektor subprime menyebabkan
nilai aset MBS jatuh dan mendorong bank investasi terbesar di AS mengalami
kerugian besar. Selama September 2008 Lehman Brothers menyatakan bangkrut,
sementara Bear Sterns dan Merril Lynch diambil alih kepemilikannya oleh bank
lain.. Akibat terparah dari semua ini adalah tidak berfungsinya sektor keuangan
AS yang merambat kepada tidak berfungsinya sektor keuangan dunia. Profil risiko
pinjam meminjam likuiditas tiba-tiba melonjak tinggi sepanjang tahun 2008, terlebih
setelah bangkrutnya bank investasi terbesar ke-4 di AS seperti Lehman Brothers.
Krisis global yang terjadi saat itu begitu cepat menjalar dan menyerang
negara-negara lain termasuk Indonesia[8].
Setelah berita kebangkrutan Lehman Brothers terlansir gerak-gerik rupiah mulai berfluktuasi.
Puncaknya, rupiah sempoyongan menembus angka Rp12.650 per dolar AS pada 24 Nopember
2008. Meroketnya nilai tukar rupiah menembus angka psikologis (Rp10.000/dolar) tentunya
membuat panik perusahaan-perusahaan nasional yang masih mengandalkan bahan baku
impor dan para pemilik modal yang tergerus nilai nominal dana mereka. Namun,
merosotnya nilai tukar rupiah hanyalah dimaknai oleh sebagian besar masyarakat
di Indonesia sebatas mereka terpaksa menunda pembelian alat-alat elektronika
yang melonjak harganya. Kenaikkan harga barang-barang ini pun memicu angka
inflasi hingga sempat menyentuh 12,56% pada tahun 2008 (Bank Indonesia : 2010).
Kasus Bank
Century Tahun 2008
Belum
selesai tekanan dari krisis global, ditahun yang sama yaitu di tahun 2008 dan tepatnya
6 November 2008, Bank Century ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus (special
surveillance) apakah bank tersebut menimbulkan efek domino (dampak
sistemik) atau tidak terhadap stabilitas sistem perbankan. Bank Century sendiri
merupakan bank hasil merger dari tiga bank, meliputi : Bank CIC, Bank Pikko dan
bank Danpac. Rentan waktu merger tiga bank tersebut pun tidak luput dari
masalah sejak 20 Juni 2000. Pada akhir Oktober 2008, kondisi likuiditas BC
semakin parah. Melihat gelagat tak beres pada BC, pemeriksa dan pengawas BI
mengusulkan kepada DG BI agar BC masuk pengawasan khusus (SSU) pada 5 November
2008. Dasar pengenaan status SSU karena CAR bank dibawah 8%.Beberapa kali
terjadi pelanggaran GWM serta likuiditas bank yang terus memburuk. Banyak aspek
memasukkan sebuah bank dalam pengawasan khusus. Biasanya modal bank rendah dan tingkat
kredit bermasalah tinggi serta profitabilitas yang rendah pula.. Dalam kondisi
yang sedang terpuruk ditambah lagi penarikan dana pihak ketiga secara terus
menerus dan hembusan rumor miring membuat kondisi BC pun mulai semponyongan dan
limbung. Bank ini juga sempat mengalami gagal kliring (13 Nopember 2008),
karena terlambat menyetor prefund. Peristiwa ini semakin memukul BC
ketika deposan melakukan aksi rush dana mereka di bank itu[9].
Mencermati
kondisi likuiditas BC yang terus mengalami penurunan, Dewan Gubernur BI mengelar
pertemuan (18 November 2008). Pokok serius bahasan adalah laporan kinerja
terkini BC dan kajian sistemik bank tersebut bila terpaksa harus dicabut izin
usahanya. Dua hari kemudian (20 November 2008), RDG BI memutuskan BC tidak bisa
lagi diselamatkan dan disehatkan oleh PSP bank sehingga ditetapkan sebagai bank
gagal yang berstatus sistemik dan merekomendasi untuk diselamatkan oleh
pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Resiko Sistemik
Stabilitas Keuangan dan Survey Kegagalan Bank
Menggabungkan
fungsi kebijakan moneter dan pengawasan bank dalam bank sentral bertujuan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan. Argumen tersebut tidak jauh dari fungsi
Bank Indonesia sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank
sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Seperti yang
diketahui, fungsi LoLR merupakan peran Bank Indonesia sebagai bank sentral
dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya
moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan
yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut. Pemantauan
stabilitas keuangan merupakan tugas bank sentral yang merupakan satu kesatuan
dalam menjaga stabilitas keuangan. Dalam menjaga kestabilan sistem keuangan
tersebut Bank Indonesia harus melakukan pemantauan dari dua indikator yakni
indikator microprudential dan indikator makroekonomi. Kedua indikator tersebut
saling melengkapi sebagai aksi dan reaksi dalam sistem keuangan dan ekonomi[10].
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hasil dan pembahasan
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya menghasilkan kesimpulan bahwa Krisis
ekonomi dan krisis keuangan ditahun 1997 dan 2008 serta kabar runtuhnya Bank
Century menyita perhatian dan menjadi pelajaran yang berarti bagi Bank Indonesia.
Peristiwa tersebut juga menarik perhatian pemerintah untuk membentuk lembaga pengawasan
yang independen yang kemudian disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan yang
bertugas
untuk mengatur dan mengawasi bank dan lembaga keuangan non-bank dengan harapan Bank
Indonesia akan lebih fokus pada tugas mewujudkan stabilitas moneter, memelihara
sistem pembayaran yang aman dn efisien serta mendorong stabilitas sistem
keuangan.
Melihat perkembangan pesat pada sistem keuangan dan
teknologi informasi serta inovasi finansial yang pada akhirnya menciptakan
sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkait satu sama
lain antar subsektor keuangan dan lembaga keuangan dan tingginya jumlah konglomerasi
keuangan di Indonesia, maka sistem pengawasan yang optimum diterapkan Indonesia
adalah dengan menggunakan pendekatan twin peaks. Bank Indonesia akan terfokus
kepada pengawasan secara makro (makroprudensial) dan wewenang kebijakan moneter
dan sistem pembayaran. OJK fokus kepada wewenang pengawasan lembaga keuangan
perbankan dan perlindungan konsumen, dan Bapepam-LK fokus kepada tugas
mengawasi Conduct of Business. Dengan harapan mampu mengurangi birokrasi
yang berbelit- belit dan OJK akan lebih tanggap kepada
permasalahan-permasalahan lembaga keuangan Bank.
B.
SARAN
Dengan melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia,
lembaga pengawasan
perbankan
sebaiknya dilaksanakan oleh OJK dengan membentuk dan menciptakan koordinasi yang
seefektif dan seefisien mungkin dengan Bank Indonesia sedangkan pengawasan
lembaga keuangan non-bank dilakukan oleh Bapepam-LK yang telah ada dan berjalan.
BI, OJK, Kementrian Keuangan, dan LPS patut membuat Memorandum of
Understanding (MoU) mengenai fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam
kerangka koordinasi untuk menciptakan transparansi koordinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Sri. 2012. Koordinasi
dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan.Yogyakarta:
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Adhitia, Didit. 2012. OJK,
Sebuah Optimisme. http://www.politikindonesia.com. Dikutip Februari 2014.
Aditiasari,
Dana. 2013. DJSN: OJK bikin pengawasan BPJS lebih sempurna.
http://ekbis.sindonews.com. Diakses
Februari 2014
Agung, Juda. 2010. Mengintegrasikan
Kebijakan Moneter dan Makroprudensial: Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter
di Indonesia Pasca Krisis Global. Working Paper no.7 Bank Indonesia.
Ascarya. 2013. Sinergi
Perbankan Syariah dan LKS non-Bank dalam Peningkatan Perekonomian Indonesia.
Presentasi Pusat Riset Dan Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia.
Bank Indonesia. Tanpa
Tahun. Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia. http://www.bi.go.id.
Bank
Indonesia. 2007. Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan.
Bank Indonesia. 2009. Bab
3 Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Outlook
Ekonomi Indonesia 2009 - 2014. www.bi.go.id
Bank Indonesia. 2010. Krisis
Global Dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. Jakarta.
Humas Bank Indonesia Bratadharma,
Angga. 2012. OJK Terbentuk Karena Undang-Undang, Bukan Realita Ekonomi.
FSA Occasional
Papers In Financial Regulation
Briault, Clive. 2002. Revisiting
the rationale for a single national financial services regulator.
No comments:
Post a Comment