Saturday, 19 December 2015

Humaniter Islam & Aturan Etika Perang Pada Masa Rasulullah S.A.W

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai hukum humaniter dalam perspektif Islam maka kita juga tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai Rasulullah Muhammad SAW, sang pembawa kabar gembira, hakim yang adil, dan panglima perang yang bijaksana. Adanya etika perang ini adalah berkat hasil kebijaksanaan beliau yang memperkenalkan perspektif baru pada manusia dalam mengenal perang. Pada masa itu, masa yang disebut masa kebodohan (jahiliyah), dimana pergerakan dan  pemiikiran masyarakat kehilangan kesucian, Rasullullah SAW kemudian datang mengajari mereka bagaimana cara memandang dunia tanpa perlu meneteskan darah, bagaimana cara berfikir tanpa merugikan orang lain, bagaimana cara  bertindak tanpa mengurangi rasa hormat kita pada orang lain serta tentu saja  bagaimana menjaga etika dalam peperangan sekalipun. Dalam sejarah peperangan di zaman Rasulullah, peperangan bukanlah misi utama dalam peradaban Islam, sehingga apa yang sering dibilang orang Barat  bahwasanya Islam adalah agama pedang sama sekali tidak benar. Karena pada dasarnya perang hanyalah jalan keluar terakhir apabila jalur diplomasi tidak  berhasil. Selain itu perang juga hanya terjadi apabila pihak musuh terlebih dahulu mengusik kaum muslimin dan itu didasarkan pada surah Al-Baqarah (2) ayat 190 yang artiya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi jangan melampui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.”[1]

 Bila diinterpretasikan secara lebih mendalam, kaum Muslimin berperang apabila pihak musuh memantik api peperangan terlebih dahulu dan walaupun musuh melakukan berbagai strategi perang yang licik (kaum munafik), Islam sama sekali tidak menghendaki perbuatan yang melampui batas, dalam artian Islam mengedepankan etika dalam berperang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perang dalam perspektif Islam terikat oleh hukum-hukum Allah yang mutlak menjadi aturan bagi kemanusiaan. Sebisa mungkin Nabi mengurangi aksi-aksi kekerasan, menekan biaya dan kerugian seminim mungkin. Tujuannya adalah semata-mata untuk mempertahankan Islam, mengakhiri paganisme, menegakkan keadilan dan menangkal kezaliman yang berlangsung dalam kehidupan jahiliyah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.       Penjelasan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional Dan Prinsip Hukum Humaniter Dalam Islam.
2.      Aturan dan Etika Jihad (Perang) Dalam Islam.

C.    METODE PENELITIAN
-          Buku-buku
-          Internet

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Penjelasan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional Dan Prinsip Hukum Humaniter Dalam Islam.
a.      Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional.
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip  pembedaan (distinction principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam  pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil). Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula  prinsip-prinsip lain, yaitu:
1.      Prinsip kepentingan militer (military necessity)
Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus memperhatikan prinsip- prinsip berikut:
a)      Prinsip proporsionalitas (proportionality principle)
Yaitu : prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda  berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus  proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan.[2] Dalam kasus keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak Kontras di Nikaragua dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.  

b)      Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi  penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.

.    Prinsip Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan “ unnecessary suffering principle”.

       Prinsip Kesatriaan (chivalry)
Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam  perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

      Prinsip pembedaan:
Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi  perang/konflik bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (civilian) di satu pihak dengan combatant serta antara objek sipil di satu  pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter.

b.      Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Islam.
Mengenai substansi dari hukum humaniter Islam, pernah Rasulullah  berpesan kepada tentara Usamah ibnu Zaid ketika akan bertolak ke Syria.”Sebentar! Aku ingin berpesan kepada kalian sepuluh hal. Berperanglah dengan nama Allah dan dijalan Allah. Jangan berkhianat, melanggar janji dan memotong-motong tubuh mayat. Jangan membunuh anak kecil, perempuan dan orang yang lanjut usia. Jangan menebang pohon,serta merusak dan membakar  pohon kurma. Jangan menembelih kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati satu kaum yang menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangilah orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan orang yang  berdamai dengan kalian. Jangan melampui batas karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” Sehingga mengenai pesan Rasulullah tersebut dapat disimpulkan bahwa  prinsip-prinsip hukum humaniter Islam terdiri dari melindungi anak-anak dan wanita, menghargai manusia, dilarang berbuat kerusakan, menjunjung tinggi  perjanjian dan menawarkan keamanan meski pada mereka yang berada diluar kepercayaan Islam.

11.    Melindungi Anak-anak, Wanita dan Orang yang Lanjut Usia
Nabi melarang keras apabila tentara Muslim berkonfrontasi secara fisik dengan anak-anak, wanita, orang yang telah lanjut usia dan juga budak. Tatkala mengetahui  bahwa ada wanita yang dibunuh dalam Perang Hunain dan tahu yang membunuh adalah Khalid ibnu al-Walid, Nabi langsung mengirim utusan : “Susul Khalid! Bukankah aku sudah mengatakan padanya, dilarang membunuh wanita, anak-anak, pesuruh atau budak.”

22.     Menghargai Manusia
Nabi sangat menghargai hak-hakkemanusiaanbahkan kepada mayat sekalipun. Seperti dalam pesan nabi bahwa jangan pernah memotong-motong tubuh mayat. Sikap seperti ini sungguhh sangat bertolak  belakang dengan kaum Jahiliyah yang ketika perang pernah seseorang dari Bani Quraisy mengoyak-ngoyak isi perut salah satu sahabat nbi yang tewas dalam perang dan setelah itu dipotonglah hidung dankemaluan sahabat Nabi tersebut. Prinsip mengenai menghargai manusia telah diterapkan sejak masa-masa awal peperangan terhadap korban-korban perang yang gugur baik dari pihak Muslim maupun musuh. Setelah memenangi perang Badar, Nabi tidak langsung begitu saja meninggalkan medan pertempurang sebelum menguburkan tujuh puluh orang musryik yang gugur. Jasad mereka dikuburkan, tak dibiarkan menjadi santapan binatang yang tergolek sia-sia di  padang Sahara.

33.     Melarang Berbuat Kerusakan
Nabi melarang umat Muslim untuk menjarah, mencemari kota, merusak, menebang dan membakar pohon dan lingkungan serta melukai orang-orang yang tidak bersenjata. Karena Islam merupakan agama keselamatan, sehingga perang bukanlah tujuan tapi tindakan yang hanya bisa diambil dalam keadaan yang sangat emergency. Tentunya kita  perlu kembali bercermin pada surah Al-Baqarah (2) ayat 190, bahwa perang tidak boleh melampui batas dan telah cukuplah apabila tujuan perang sendiri tercapai yaitu mengalahkan kezaliman. Pernah dalam suatu ekspedisi, yaitupenaklukan Mekkah, Nabi menyuruh patung-patung berhala yang berdiri di seluruh wilayah Mekkah dihancurkan. Tentunya disini terdapat  pengecualian karena pada hakekatnya tujuan perang dalm Islam salah satunya adalah melenyapkan paganisme.


44.      Menjunjung Tinggi Perjanjian
Islam sangat mensakralkan janji, menghargai  janji dengan cara yang luhur dan suci. Hal ini dapat dilihat di QS Al-Maidah : 1, Al-Nahl : 91, Al-Isra : 34 dan ayat-ayat lainnyayang berada dalam Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam mengakui luhur dan sucinya nilai dari janji sehingga dalam peperangan dan diplomasi yang dibangun senantiasa dijaga integritas dari komitmen-komitmen yang lahir. Contohnya adalah ketika juru tulis Nabi mengangkat tanganya usai dia mensahkan perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslim dan Bani Quraisy, Abu Jandal lalu datang pada Rasul dengan melompat-lompat karena tangan dan kakinya tengah terikat. Dia memohon pada Rasul agar mengijinkannya mengikuti Rasul dan masuk agama Islam. Rasul kemudian menolak keikutsertaan Abu Jandal dan mengembalikannya pada kaum Quraisy. Rasulullah tahu bahwa nantinya Abu Jandal akan disiksa oleh kaum Quraisy tapi Rasulullah tidak boleh melanggarjanji yang ditulis dalam perjanjian Hudaibiyah karena Rasulullah sangant menjaga komitmen terhadap janji. Tapi  biarpun Rasul mengembalikan Abu Jandal , Rasulullah berpesan bahwa Abu Jandal harus berserah diri pada Allah karena Allah pasti menepati janji orang-orang yang bersabar.

55.      Menawarkan Keamanan
Nabi menerapkan sistem keamanan dalam perang,  bahkan meskipun perang sedang berlangusng. Bukan hanya terhadap kaum Muslim saja bahkan Nabi menyuruh menawarkan keamanan bagi non-Muslim. Seperti yang diucapkan Nabi dalam pesannya pada Usamah ibnu Zaid ketika bertolak ke Syam (Suriah sekarang) untuk berperang. Nabi mengatakan apabila melewati kaum yang sedang menepi di biara-biara, biarkanlah mereka. Prinsip keamanan ini mencakup apa yang akhir-akhir ini disebut  perlindungan terhadap warga Negara asing di Negara Islam dengan segala milik mereka,juga hubungan perdamaian dengan non-Muslim. Salah satu  prinsip penting untuk mengukuhkan perdamaina yang hasilnya berupa Piagam Madinah yang menyatukan berbagai agama dalam satu kesepakatan bersama. Meskipun Yahudi dan kaum munafik kerapkali mencemooh umat Muslim secara terang-terangan tidak menggoyahkan keteguhan hati Nabi untuk  berhenti menawarkan keamanan. Allah berfirman: Dan jika diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya[3].

Dari prinsip-prinsip di atas telah jelaslah bahwa Islam senantiasa mengedapankan moral dan etika dalam peperangan yang penuh dengan darah serta kerusakan sekalipun. Bahwa Rasulullah menekankan prinsip- prinsip hukum humaniter Islam dalam medan pertempuran. Sehingga tertepislah image Islam di mata dunia Barat yang memandang Agama Islam sebagai agama  pedang, agama teroris, Sebab untuk berperang saja umat Muslim harus menggunakan prinsip- prinsip etika peperangan dan tidak menghendaki perang terlebih dahulu kecuali dalam keadaan terdesak seperti firman Allah yang artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[4].

B. Aturan dan Etika Jihad (Perang) Dalam Islam.
Secara umum, etika jihad (peperangan) dalam Islam terbagi kepada 3 mengikuti situasi yaitu etika sebelum peperangan, pada saat peperangan dan setelah peperangan. Islam telah menggariskan prinsip-prinsip umum dalam berjihad atau berperang yg mesti dipatuhi oleh mujahidin ketika berperang. Etika utama peperangan dalam Islam ialah mematuhi perintah Allah SWT serta mencari keridhaanNya. Islam membenarkan umat Islam berperang dengan tujuan untuk mempertahankan diri apabila diserang oleh musuh dan untuk  menyebarkan dakwah Islam. Namun, peperangan merupakan jalan terakhir untuk menyebarkan Islam. Oleh itu, sebelum berperang orang kafir hendaklah diseru atau diajak kepada Islam, berdamai atau berperang. Ini dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar as Siddiq ketika menggempur wilayah Hirah. Islam juga hanya membenarkan umatnya memulakan peperangan sekiranya diserang oleh musuh terlebih dahulu. Ini berlaku ketika Perang Badar, mujahidin hanya menunggu serangan dari musuh yang menyerang barulah peperangan dimulai. Dalam ekspedisi ketentaraan juga, mujahidin tidak boleh memerangi musuh yang tidak memiliki kekuatan dan daya usaha seperti anak-anak, kaum wanita, orang cacat atau lumpuh, pemuka agama atau pendeta. Berdasarkan etika inilah maka mereka tidak dikenakan jizyah di zaman pemerintahan KhulafaulRasyidin karena mereka dianggap tidak mendatangkan ancaman kepada negara Islam. Etika seterusnya,mujahidin juga dilarang merusak harta benda, memotong kayu atau membakar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Ini menunjukkan betapa Islam mementingkan keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat seluruhnya. Ini terbukti ketika Nabi Muhammad SAW mengepung kota Taif, harta musuh Islam langsung tidak diusik. Mujahidin juga tidak boleh memerangi orang yang sudah menyerah, kafir dhimmi atau mereka yg sudah mengikat perjanjian damai serta mengaku taat setia kepada pemerintah Islam. Mjahidin juga dilarang melakukan segala perbuatan yang dapat mengaibkan musuh seperti : tidak boleh mencincang mayat atau musuh yg terbunuh seperti  yg telah dilakukan oleh Hindun binti Utbah terhadap mayat Saidina Hamzah ketika Perang Uhud. Islam juga Menghendaki mujahidin wajib atau mematuhi perjanjian damai yg telah disepakati. Sebagai contoh, Perjanjian Hudaibiyah yg disepakati pada 6H telah dipatuhi oleh Nabi Muhammad SAW walaupun perjanjian itu seolah-olah memberi kelebihan kepada  musuh. Akibat pelanggaran perjanjian inilah Nabi Muhammad SAW mengetuai mujahidin membuka Kota Makkah pada 8H. Etika selanjutnya dalam peperangan ialah mujahidin dikehendaki memberikan layanan yang baik terhadap tawanan perang, bukan menyiksa atau membunuh mereka. Ini merupakan salah satu cara berdakwah yang dianjurkan oleh Nabi. Sebagai contoh, dalam Perang Badar, sahabat Nabi telah merencanakan agar musuh yg ditawan dibunuh saja, tetapi Rasulullah tidak menerima cadangan tersebut. Malah beliau menggunakan cara diplomasi. Tawanan perang harus menebus diri dengan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak Madinah atau menebus diri dengan sejumlah uang tertentu. Aturan ini ternyata telah menarik banyak musuh atau tawanan perang memeluk Islam. Mujahidin juga diajar oleh Nabi Muhammad SAW supaya patuh kepada Amir (ketua) dan tidak boleh meninggalkan medan jihad melainkan dengan izin ketua. Islam juga membenarkan mujahidin melakukan taktik  dalam peperangan karena perbuatan itu termasuk dalam strategi peperangan. Mjahidin juga diajar melakukan pembagian harta rampasan perang dilakukan secara adil mengikuit ketetapan Allah SWT dalam al-Quran. Harta-harta yg diperoleh dalam peperangan bukan menjadi milik Rasulullah SAW tetapi mesti dibagikan secara sama rata dalam kalangan mujahidin yang terlibat dalam peperangan tersebut.

Selain itu, beberapa teks Hadis dan Atsar yang memerinci warga sipil dan non-kombatan yang harus dilindungi dari segala bentuk ekses operasi militer, serangan membabi buta, pembalasan dendam dan tidak dijadikan objek serangan atau dijadikan sebagai perisai dari serangan militer, antara lain :

1.      Para Wanita dan Anak-Anak
Abdullah bin Umar melaporkan, “Selama bebrapa peperangan Rasullullah saw., seorang wanita ditemukan terbunuh, maka Rasullullah saw. melarang pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR.al-Bukhari). Dalam Hadis lain dilaporkan bahwa, “Seorang wanita ditemukan terbunuh. Rasullullah tidak menyetujui pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Hadis dengan arti yang sama diriwayatkan juga oleh Imam Malik dan IbnuMajah)

2.      Para Agamawan dan Rohaniawan
Yahya bin Sa’id melaporkan bahwa, “Abu Bakar ra. Menasihati Yazid bin Muawiyah, ‘Kamu akan menemukan sekelompok  orang yang mengaku telah mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Biarkanlah mereka atas apa yang diakuinya (Biarawan Kristen) Aku menasihatimu sepuluh hal, Jangan membunuh para wanita atau anak-anak atau orang tua yang lemah. Jangan menebang pohon yang mengahsilkan buah, jangan membantai kambing atau unta kecuali untuk makanan. Jangan membakar rumah dam memporak-porandakannya. Jangan mencuri barang rampasan perang, dan jangan bersikap pengecut” (HR. Malik).

3.      Tawanan Perang
Dalam memperlakukan tawanan perang yang tidak dalam posisinya lagi untuk melawan, islam memerintahkan Muslim untuk memperlakukan mereka secara baik sesuai firman Allah swt : “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di Medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.”[5] Dalam praktiknya Rasullullah saw. mengimplementasikan perintah al-Quran terhadap tawanan perang dengan baik dan sering kali membebaskan mereka seperti dalam kasus Perang Hunain. Beberapa tawanan perang Badar  ditebus, dan beberapa yang lain diminta untuk mengajari anak-anak Muslim sebagai komensasi kebebasan mereka. Bahkan saw. bersikap sangat lembut dan penuh keluhuran budi kepada pihak musuh yang telah ditakhlukan walaupun beliau dulu pernah disakiti dan beberapa sahabat beliau dianiaya dan dibunuh mereka. Pada peristiwa Fath Makkah, beliau berkata ke[pada orang-orang kafir Quraisy yang telah ditaklukkan, “ pergilah,kalian sudah bebas”(HR. al-Baihaqi).
  

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari prinsip-prinsip di atas telah jelaslah bahwa Islam senantiasa mengedapankan moral dan etika dalam peperangan yang penuh dengan darah serta kerusakan sekalipun. Bahwa Rasulullah menekankan prinsip- prinsip hukum humaniter Islam dalam medan pertempuran. Sehingga tertepislah image Islam di mata dunia Barat yang memandang Agama Islam sebagai agama  pedang, agama teroris, Sebab untuk berperang saja umat Islam harus menggunakan prinsip- prinsip etika peperangan dan tidak menghendaki perang terlebih dahulu kecuali dalam keadaan terdesak.


B.     SARAN
Hukum humaniter barbasis Islam seharusnya dapat dijadikan rujukan dan dasar  pijakan dalam hukum HHI. Sebab prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter Islam sedikit banyak ada kesamaan yang prinsipil dalam aturannya. Kaidah utama yang menjadi dasar bagi Hukum Internasional Umum dalam Islam adalah kesatuan kemanusiaan, kerjasama atas kebaikan, toleransi, kebebasan  berkeyakinan, keadilan dan resiprokal berbasis moral. Kaidah tersebut bersumber
kepada Al Qur’an dan Sunah serta hukum kebiasaan yang tidak bertentangan teks agama. Sehingga ada poin utama dalam Hukum Humaniter berbasis Islam yang dapat disimpulkan. Pertama, perang harus terbatas pada aspek darurat. kedua ,bila  perang meletus, wajib bernapaskan kemanusiaan atau menjunjung tinggi segala aspek kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999
Al-Qur’an, Kementrian Agama.
Humaniter,Sejarah STPM /Peperangan dan Strategi peperangan dalam Islam.htm.
Muttafaq ‘alaih, SAHIH Al Bukhari dan Muslim.
Masri E.Bidin, Perlindungan Warga Sipil dan Tawanan dalam Perspektif HHI dan Syari’ah islam kumpulan kursus makalah HHI ,Kerja sama Fak. Hukum UNDIP dan International Committee of the Red Cros (ICRC).
Shahih/Abu Dawud  shahih Sunan Abi Dawud .
Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, InternationaL Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.
Yusuf al-Qaradhawi, al-islam wa al-‘Unf: nazharat Ta’shiliyyah,( Kairo:Dar al-Syuruq, 2005) h. 27-29.
Zaqzuq, Haqo’iq Islamiyyah fi Muwahajat Hamalat at-Tasykik, (Kairo: Maktabah Asy-syuruk al-Dawliyyah ,2004), h. 51-52.


 #sulaimanzaini
mahasiswa fakultas hukum Universitas Malikussaleh




[1] Q.S Al-Baqarah : 190
[2] Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.
[3] QS. Al-Baqarah : 6
[4] QS. Al-Baqarah : 190
[5] QS.Muhammad [47]:4.

Tuesday, 8 December 2015

Eksekusi Putusan Pengadilan ( Perdata )

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan Makalah Hukum Acara Perdata dengan judul “EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN”.
            Dengan adanya makalah ini, penulis berharap agar kawan-kawan mahasiswa Dapat mengetahui lebih jelas tentang Eksekusi Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata.
            Kritik dan saran benar-benar penulis harapkan guna penyempurnaan lebih lanjut sehingga dapat membawa manfaat lebih bagi kita semua.

                                                                                                               Lhokseumawe, 01 juni 2015
                                                                                                                         Sulaiman zaini


DAFTAR ISI

Kata Pengantar   ...............................................................................     i
Daftar Isi  ...........................................................................................     ii
Bab I Pendahuluan         ...................................................................    
A.               Latar Belakang            ...................................................................     1
B.               Rumusan Masalah       ...................................................................    
C.                Metode Penelitian       ...................................................................     2

Bab II Pembahasan        ...................................................................    
A.    Eksekusi                     ...................................................................    
a.       Pengertian Eksekusi   ...................................................................     3
b.      Dasar Hukum Eksekusi          .......................................................     4
B.     Azas-azas Eksekusi    ...................................................................     5
C.     Jenis-jenis Eksekusi    ...................................................................    
1.      Jenis Eksekusi            ...................................................................
2.      Macam-macam Eksekusi        .......................................................     7
D.    Tata Cara Eksekusi    ...................................................................
1.      Eksekusi Riil  ...............................................................................     8
2.      Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang           ...............................     10

Bab IV Penutup ...............................................................................    
A.    Kesimpulan    ...............................................................................    
B.     Saran  ...........................................................................................     12
Daftar Pustaka     ...............................................................................     13


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan - peraturan yang  memuat tata cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan tata cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan - peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata merupakan hukum formil yang harus dijalani sesuai dengan apa yang telah diatur didalamnya. Tanpa adanya hukum acara perdata, maka mustahil hukum perdata materiil dapat dilaksanakan.
Tujuan dari suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk mendapatkan penentuan bagaimanakah hukumnya dalam suatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan hukum antara dua pihak yang berperkara itu seharusnya dan agar segala apa yang ditetapkan itu direalisir, jika perlu dengan paksaan.[1])
Putusan pengadilan adalah merupakan salah satu dari dari hukum acara formil yang akan dijalani oleh para pihak yang terkait dalam perkara perdata. Dari beberapa proses yang dilakukan oleh para pihak yang berperkara, putusan dan bagaimana putusan itu dilaksanakan adalah tahapan yang menjadi tujuan. Oleh karena itu penulis akan menguraikan secara lebih detail bagaimana tata cara dan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh hakim dalam mumbuat sebuah putusan. Karena apabila terdapat suatu yang belum atau tidak terpenuhi sesuai dengan ketentuan atau syarat yang telah ditetapkan oleh undang – undang maka putusan yang dihasilkan menjadi cacat hukum dan bahkan akan menjadi batal demi hukum.[2])

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Eksekusi.
2.      Azas-azas Eksekusi.
3.      Jenis-jenis Eksekusi.
4.      Tata Cara Eksekusi.

C.    METODE PENELITIAN
1.      Studi Pustaka.
-          Buku-buku.
-          Internet.
-          Literatur.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    EKSEKUSI
a.      Pengertian Eksekusi.
Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam makalah ini akan mengunakan kata Eksekusi  untuk pengertian pelaksanaan putusan dalam perkara perdata.
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.[3])
Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. Dalam Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan: Hal menjalankan Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas Pimpinan ketua Pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal HIR. Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBG dikatakan: Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari. Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya[4]). Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri agar Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah dalam perkara agardalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan Pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan Putusan Pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera/Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah terperkara.

b.      Dasar  Hukum Eksekusi.
Dasar hukum eksekusi Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan :
1.      Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR/Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi secara umum);
2.      Pasal 225 HIR/Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu).
3.      Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR/Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang sandera (gijzeling) tidak lagi di berlakukan secara efektif.
4.       Pasal 180 HIR/Pasal 191 R.Bg, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan provisi).
5.       Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil).
6.       Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang pelaksanaan putusan pengadilan).

B. AZAS-AZAS EKSEKUSI.
1.      Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni: 3
a.        Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
b.       Putusan Makamah Agung (kasasi/PK).
c.       Putusan verstek yang tidak diajukan verzet.
Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah:
a.       Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad).
b.      Putusan provisi.
c.       Putusan perdamaian.
d.       Grose akta hipotik/pengakuan hutang.

2.       Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir). Maksudnya, pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar putusan yang berbunyi :
a.        Menghukum atau memerintahkan menyerahkan  sesuatu barang.
b.       Menghukum atau memerintahkan  pengosongan  sebidang  tanah atau rumah.
c.       Menghukum atau memerintahkan  melakukan  suatu perbuatan tertentu.
d.       Menghukum atau memerintahkan  penghentian  suatu perbuatan atau keadaan.
e.        Menghukum atau memerintahkan  melakukan  pembayaran sejumlah uang[5]).

3.      Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela.Maksudnya, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.

4.      Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg]. Maksudnya, bahwa pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).

5.       Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.


C. JENIS-JENIS EKSEKUSI.
1.      Jenis eksekusi.
a.  Dengan Sukarela.
Artinya pihak yang dikalahkan melaksanakan sendiri putusan Pengadilan tanpa ada paksaan dari pihak lain
b . Dengan Paksaan.
Yaitu menjalankan putusan Pengadilan, yang merupakan suatu  tindakan hukum  dan dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah disebabkan ia tidak mau menjalankan putusan secara suka rela.

2.      Macam Ekekusi.
            Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut eksekusi pembayaran uang [6]). Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu. Dan eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg[7]).
a. Eksekusi Riil.
Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.
b. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang.

D. TATA CARA EKSEKUSI
1. Eksekusi Riil.
Menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan, dengan tahapan :
a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada ketua pengadilan [Pasal 196 HIR/Pasal 207 ayat (1) R.Bg];
b. Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela [Pasal 207 ayat (2) R.Bg], dengan cara:
1.  Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.
2. Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan cara :
a. Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri ketua pengadilan, panitera dan termohon eksekusi.
b. Dalam sidang tersebut diberikan peringatan/teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8 hari, melaksanakan isi putusan tersebut.

c. Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut.
d. Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi telah dilakukan peringatan/teguran untuk melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam mengeluarkan perintah eksekusi.
Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidak hadirannya masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning serta ketua pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.
c. Setelah tenggang waktu 8 hari ternyata termohon eksekusi masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan :
1. Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).
2.  Ditujukan kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti.
3. Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.
d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua pengadilan, maka panitera/jurusita/jurusita pengganti merencanakan/menentukan waktu serta memberitahukan tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, kepala desa/lurah,/ kecamatan/kepolisian setempat.
e. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, panitera/jurusita/jurusita pengganti langsung ke lapangan guna melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:
1. Eksekusi dijalankan oleh panitera/jurusita/jurusita pengganti (Pasal 209 ayat (1) R.Bg).
2. Eksekusi dibantu 2 (dua) orang saksi (Pasal 200 R.Bg), dengan syarat-syarat:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Berumur minimal 21 tahun.
c.  Dapat dipercaya.
 3.  Eksekusi dijalankan ditempat dimana barang (obyek) tersebut berada.
4. Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat.
a. Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam) pelaksanaan.
b. Jenis, letak, ukuran dari barang yang dieksekusi
c. Tentang kehadiran termohon eksekusi.
d. Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi.
e. Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang/obyek yang tidak diketemukan/tidak sesuai dengan amar putusan).
f. Penjelasan tentang dapat/tidaknya eksekusi dijelaskan.
g. Keterangan tentang penyerahan barang (obyek) kepada pemohon eksekusi.
h. Tanda tangan panitera/jurusita/jurusita pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang membantu menjalankan eksekusi,kKepala desa/lurah/camat dan termohon eksekusi itu sendiri.
Untuk tanda tangan kepala desa/lurah/camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal yang tidak diingini.
5.  Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon eksekusi (Pasal 209 R.Bg), yang dilakukan ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika termohon eksekusi tidak hadir pada saat eksekusi dijalankan)

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Untuk sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses tahapan sebagai berikut :
a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepada ketua pengadilan.
b. Adanya peringatan/teguran (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 hari, sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.
c. Setelah masa peringatan/teguran (aanmaning) dilampaui, termohon eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan (beschikking) berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal197 HIR/Pasal 208 R.Bg (tata cara sita eksekusi hampir sama dengan sita jaminan).
d. Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi.


BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN
Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan.
2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut eksekusi riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang.

B.     SARAN
Alangkah lebih baik bila pihak yang kalah dalam perkara mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan, sehingga penegakan hukum di indonesia bisa berjalan dengan lancar.
Mudah – mudahan tulisan singkat ini dapat membawa manfaat bagi kami khususnya dan kawan-kawan umumnya, guna menambah khasanah pengetahuan yang telah ada. Sebagaimana telah kami ungkapkan dalam awal makalah ini, mengingat keterbatasan pengetahuan kami, kiranya kritik dan saran amat kami perlukan untuk kebaikan kita semua.




DAFTAR PUSTAKA


EksekusidalamHukumAcaraPerda.htm.
Abdul Manan, 2005: 316
M. Yahya Harahap,S.H. Hukum Acara Perdata, 2010. Jakarta: Sinar Grafita
Moh. Taufik Makaro, SH. MH, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 2004. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Prof. R. Subekti, S.H, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, Cet. Ke 3, 1989
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, 1998.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.





[1]). Prof. R. Subekti, SH.,Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1977
[2]). Sebagaimana ditentukan dalam Undang – undang No. 4 Tahun 2004, Tentang kekuasaan Kehakiman, Pasal   19
[3] ). M. Yahya Harahap, 1988: 5.
[4] ). M. Yahya Harahap, SH – Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1991, Hal. 5.
[5]) M. Yahya Harahap, 1988: 13
[6] ) M. Yahya Harahap, 1988: 20
[7] ) Abdul Manan, 2005: 316