BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Berbicara mengenai hukum humaniter
dalam perspektif Islam maka kita juga tidak akan lepas dari pembicaraan
mengenai Rasulullah Muhammad SAW, sang pembawa kabar gembira, hakim yang adil, dan
panglima perang yang bijaksana. Adanya etika perang ini adalah berkat hasil
kebijaksanaan beliau yang memperkenalkan perspektif baru pada manusia dalam
mengenal perang. Pada masa itu, masa yang disebut masa kebodohan (jahiliyah),
dimana pergerakan dan pemiikiran masyarakat kehilangan kesucian,
Rasullullah SAW kemudian datang mengajari mereka bagaimana cara memandang dunia
tanpa perlu meneteskan darah, bagaimana cara berfikir tanpa merugikan orang
lain, bagaimana cara bertindak tanpa mengurangi rasa hormat kita pada
orang lain serta tentu saja bagaimana menjaga etika dalam peperangan
sekalipun. Dalam sejarah peperangan di zaman Rasulullah, peperangan bukanlah
misi utama dalam peradaban Islam, sehingga apa yang sering dibilang orang Barat
bahwasanya Islam adalah agama pedang sama sekali tidak benar. Karena pada
dasarnya perang hanyalah jalan keluar terakhir apabila jalur diplomasi tidak
berhasil. Selain itu perang juga hanya terjadi apabila pihak musuh
terlebih dahulu mengusik kaum muslimin dan itu didasarkan pada surah Al-Baqarah
(2) ayat 190 yang artiya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kalian, tetapi jangan melampui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampui batas.”[1]
Bila diinterpretasikan secara lebih mendalam,
kaum Muslimin berperang apabila pihak musuh memantik api peperangan terlebih
dahulu dan walaupun musuh melakukan berbagai strategi perang yang licik (kaum
munafik), Islam sama sekali tidak menghendaki perbuatan yang melampui batas,
dalam artian Islam mengedepankan etika dalam berperang. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa perang dalam perspektif Islam terikat oleh hukum-hukum Allah yang
mutlak menjadi aturan bagi kemanusiaan. Sebisa mungkin Nabi mengurangi
aksi-aksi kekerasan, menekan biaya dan kerugian seminim mungkin. Tujuannya
adalah semata-mata untuk mempertahankan Islam, mengakhiri paganisme, menegakkan
keadilan dan menangkal kezaliman yang berlangsung dalam kehidupan jahiliyah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Penjelasan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter
Internasional Dan Prinsip Hukum Humaniter Dalam Islam.
2. Aturan dan Etika
Jihad (Perang) Dalam Islam.
C. METODE PENELITIAN
-
Buku-buku
-
Internet
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter
Internasional Dan Prinsip Hukum Humaniter Dalam Islam.
a. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional.
Salah satu prinsip penting dalam
hukum humaniter adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip
pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta
secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok
yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil).
Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula
prinsip-prinsip lain, yaitu:
1.
Prinsip
kepentingan militer (military necessity)
Berdasarkan
prinsip ini pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk
menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Dalam
prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan militer dalam rangka penggunaan
kekerasan terhadap pihak lawan, suatu serangan harus memperhatikan
prinsip- prinsip berikut:
a)
Prinsip proporsionalitas (proportionality principle)
Yaitu : prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan
oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda
berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional (harus
proporsional) dengan keuntungan militer yang diharapkan.[2]
Dalam kasus keterlibatan dan dukungan Amerika Serikat terhadap pemberontak
Kontras di Nikaragua dengan putusan yang dibuat dalam kasus-kasus ICTY.
b)
Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu
prinsip yang membatasi penggunaan
alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa
kepada pihak musuh.
. Prinsip
Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan
prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan
perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Oleh karena
itu prinsip ini sering juga disebut dengan “ unnecessary suffering principle”.
Prinsip
Kesatriaan (chivalry)
Prinsip ini
mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, perbuatan curang dan cara-cara yang
bersifat khianat dilarang.
Prinsip
pembedaan:
Berdasarkan
prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakukan
pembedaan antara penduduk sipil (civilian) di satu pihak dengan combatant serta
antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak.
Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat
dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip
pembedaan ini adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter.
b. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Islam.
Mengenai
substansi dari hukum humaniter Islam, pernah Rasulullah berpesan kepada
tentara Usamah ibnu Zaid ketika akan bertolak ke Syria.”Sebentar! Aku ingin
berpesan kepada kalian sepuluh hal. Berperanglah dengan nama Allah dan dijalan
Allah. Jangan berkhianat, melanggar janji dan memotong-motong tubuh mayat.
Jangan membunuh anak kecil, perempuan dan orang yang lanjut usia. Jangan
menebang pohon,serta merusak dan membakar pohon kurma. Jangan menembelih
kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian akan melewati satu kaum yang
menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangilah orang yang memerangi kalian
dan berdamailah dengan orang yang berdamai dengan kalian. Jangan melampui
batas karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” Sehingga
mengenai pesan Rasulullah tersebut dapat disimpulkan bahwa
prinsip-prinsip hukum humaniter Islam terdiri dari melindungi anak-anak
dan wanita, menghargai manusia, dilarang berbuat kerusakan, menjunjung tinggi
perjanjian dan menawarkan keamanan meski pada mereka yang berada diluar
kepercayaan Islam.
11. Melindungi
Anak-anak, Wanita dan Orang yang Lanjut Usia
Nabi melarang keras apabila tentara Muslim
berkonfrontasi secara fisik dengan anak-anak, wanita, orang yang telah lanjut
usia dan juga budak. Tatkala mengetahui bahwa ada wanita yang dibunuh
dalam Perang Hunain dan tahu yang membunuh adalah Khalid ibnu al-Walid, Nabi
langsung mengirim utusan : “Susul Khalid! Bukankah aku sudah mengatakan
padanya, dilarang membunuh wanita, anak-anak, pesuruh atau budak.”
22. Menghargai
Manusia
Nabi sangat menghargai hak-hakkemanusiaanbahkan
kepada mayat sekalipun. Seperti dalam pesan nabi bahwa jangan pernah
memotong-motong tubuh mayat. Sikap seperti ini sungguhh sangat bertolak
belakang dengan kaum Jahiliyah yang ketika perang pernah seseorang dari
Bani Quraisy mengoyak-ngoyak isi perut salah satu sahabat nbi yang tewas dalam
perang dan setelah itu dipotonglah hidung dankemaluan sahabat Nabi tersebut.
Prinsip mengenai menghargai manusia telah diterapkan sejak masa-masa awal
peperangan terhadap korban-korban perang yang gugur baik dari pihak Muslim
maupun musuh. Setelah memenangi perang Badar, Nabi tidak langsung begitu saja
meninggalkan medan pertempurang sebelum menguburkan tujuh puluh orang musryik
yang gugur. Jasad mereka dikuburkan, tak dibiarkan menjadi santapan binatang
yang tergolek sia-sia di padang Sahara.
33. Melarang
Berbuat Kerusakan
Nabi melarang umat Muslim untuk menjarah, mencemari
kota, merusak, menebang dan membakar pohon dan lingkungan serta melukai
orang-orang yang tidak bersenjata. Karena Islam merupakan agama keselamatan,
sehingga perang bukanlah tujuan tapi tindakan yang hanya bisa diambil dalam
keadaan yang sangat emergency. Tentunya kita perlu kembali bercermin pada
surah Al-Baqarah (2) ayat 190, bahwa perang tidak boleh melampui batas dan
telah cukuplah apabila tujuan perang sendiri tercapai yaitu mengalahkan kezaliman.
Pernah dalam suatu ekspedisi, yaitupenaklukan Mekkah, Nabi menyuruh
patung-patung berhala yang berdiri di seluruh wilayah Mekkah dihancurkan.
Tentunya disini terdapat pengecualian karena pada hakekatnya tujuan
perang dalm Islam salah satunya adalah melenyapkan paganisme.
44. Menjunjung
Tinggi Perjanjian
Islam sangat mensakralkan janji, menghargai
janji dengan cara yang luhur dan suci. Hal ini dapat dilihat di QS
Al-Maidah : 1, Al-Nahl : 91, Al-Isra : 34 dan ayat-ayat lainnyayang berada
dalam Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam mengakui luhur dan
sucinya nilai dari janji sehingga dalam peperangan dan diplomasi yang dibangun
senantiasa dijaga integritas dari komitmen-komitmen yang lahir. Contohnya
adalah ketika juru tulis Nabi mengangkat tanganya usai dia mensahkan perjanjian
Hudaibiyah antara kaum Muslim dan Bani Quraisy, Abu Jandal lalu datang pada
Rasul dengan melompat-lompat karena tangan dan kakinya tengah terikat. Dia
memohon pada Rasul agar mengijinkannya mengikuti Rasul dan masuk agama Islam. Rasul
kemudian menolak keikutsertaan Abu Jandal dan mengembalikannya pada kaum
Quraisy. Rasulullah tahu bahwa nantinya Abu Jandal akan disiksa oleh kaum
Quraisy tapi Rasulullah tidak boleh melanggarjanji yang ditulis dalam
perjanjian Hudaibiyah karena Rasulullah sangant menjaga komitmen terhadap
janji. Tapi biarpun Rasul mengembalikan Abu Jandal , Rasulullah berpesan
bahwa Abu Jandal harus berserah diri pada Allah karena Allah pasti menepati janji
orang-orang yang bersabar.
55. Menawarkan
Keamanan
Nabi menerapkan sistem keamanan dalam perang,
bahkan meskipun perang sedang berlangusng. Bukan hanya terhadap kaum Muslim
saja bahkan Nabi menyuruh menawarkan keamanan bagi non-Muslim. Seperti yang
diucapkan Nabi dalam pesannya pada Usamah ibnu Zaid ketika bertolak ke Syam
(Suriah sekarang) untuk berperang. Nabi mengatakan apabila melewati kaum yang
sedang menepi di biara-biara, biarkanlah mereka. Prinsip keamanan ini mencakup
apa yang akhir-akhir ini disebut perlindungan terhadap warga Negara asing
di Negara Islam dengan segala milik mereka,juga hubungan perdamaian dengan
non-Muslim. Salah satu prinsip penting untuk mengukuhkan perdamaina yang
hasilnya berupa Piagam Madinah yang menyatukan berbagai agama dalam satu
kesepakatan bersama. Meskipun Yahudi dan kaum munafik kerapkali mencemooh umat
Muslim secara terang-terangan tidak menggoyahkan keteguhan hati Nabi untuk
berhenti menawarkan keamanan. Allah berfirman: Dan jika diantara kaum
musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia
dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman
baginya[3].
Dari prinsip-prinsip di atas telah jelaslah bahwa Islam
senantiasa mengedapankan moral dan etika dalam peperangan yang penuh dengan
darah serta kerusakan sekalipun. Bahwa Rasulullah menekankan
prinsip- prinsip hukum humaniter Islam dalam medan pertempuran. Sehingga
tertepislah image Islam di mata dunia Barat yang memandang Agama Islam sebagai
agama pedang, agama teroris, Sebab untuk berperang saja umat Muslim harus
menggunakan prinsip- prinsip etika peperangan dan tidak menghendaki perang
terlebih dahulu kecuali dalam keadaan terdesak seperti firman Allah yang
artinya : Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[4].
B. Aturan
dan Etika Jihad (Perang) Dalam Islam.
Secara umum, etika jihad (peperangan)
dalam Islam terbagi kepada 3 mengikuti situasi yaitu etika sebelum peperangan,
pada saat peperangan dan setelah peperangan. Islam telah menggariskan
prinsip-prinsip umum dalam berjihad atau berperang yg mesti dipatuhi oleh
mujahidin ketika berperang. Etika utama peperangan dalam Islam ialah mematuhi
perintah Allah SWT serta mencari keridhaanNya. Islam membenarkan umat Islam
berperang dengan tujuan untuk mempertahankan diri apabila diserang oleh musuh
dan untuk menyebarkan dakwah Islam.
Namun, peperangan merupakan jalan terakhir untuk menyebarkan Islam. Oleh itu,
sebelum berperang orang kafir hendaklah diseru atau diajak kepada Islam,
berdamai atau berperang. Ini dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar as Siddiq ketika
menggempur wilayah Hirah. Islam juga hanya membenarkan umatnya memulakan
peperangan sekiranya diserang oleh musuh terlebih dahulu. Ini berlaku ketika
Perang Badar, mujahidin hanya menunggu serangan dari musuh yang menyerang
barulah peperangan dimulai. Dalam ekspedisi ketentaraan juga, mujahidin tidak
boleh memerangi musuh yang tidak memiliki kekuatan dan daya usaha seperti
anak-anak, kaum wanita, orang cacat atau lumpuh, pemuka agama atau pendeta.
Berdasarkan etika inilah maka mereka tidak dikenakan jizyah di zaman
pemerintahan KhulafaulRasyidin karena mereka dianggap tidak mendatangkan
ancaman kepada negara Islam. Etika seterusnya,mujahidin juga dilarang merusak
harta benda, memotong kayu atau membakar rumah kecuali dalam keadaan darurat.
Ini menunjukkan betapa Islam mementingkan keamanan dan kesejahteraan kepada
masyarakat seluruhnya. Ini terbukti ketika Nabi Muhammad SAW mengepung kota
Taif, harta musuh Islam langsung tidak diusik. Mujahidin juga tidak boleh
memerangi orang yang sudah menyerah, kafir dhimmi atau mereka yg sudah mengikat
perjanjian damai serta mengaku taat setia kepada pemerintah Islam. Mjahidin juga
dilarang melakukan segala perbuatan yang dapat mengaibkan musuh seperti : tidak
boleh mencincang mayat atau musuh yg terbunuh seperti yg telah dilakukan oleh Hindun binti Utbah
terhadap mayat Saidina Hamzah ketika Perang Uhud. Islam juga Menghendaki mujahidin
wajib atau mematuhi perjanjian damai yg telah disepakati. Sebagai contoh,
Perjanjian Hudaibiyah yg disepakati pada 6H telah dipatuhi oleh Nabi Muhammad
SAW walaupun perjanjian itu seolah-olah memberi kelebihan kepada musuh. Akibat pelanggaran perjanjian inilah Nabi
Muhammad SAW mengetuai mujahidin membuka Kota Makkah pada 8H. Etika selanjutnya
dalam peperangan ialah mujahidin dikehendaki memberikan layanan yang baik terhadap
tawanan perang, bukan menyiksa atau membunuh mereka. Ini merupakan salah satu
cara berdakwah yang dianjurkan oleh Nabi. Sebagai contoh, dalam Perang Badar,
sahabat Nabi telah merencanakan agar musuh yg ditawan dibunuh saja, tetapi Rasulullah
tidak menerima cadangan tersebut. Malah beliau menggunakan cara diplomasi. Tawanan
perang harus menebus diri dengan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak-anak
Madinah atau menebus diri dengan sejumlah uang tertentu. Aturan ini ternyata
telah menarik banyak musuh atau tawanan perang memeluk Islam. Mujahidin juga
diajar oleh Nabi Muhammad SAW supaya patuh kepada Amir (ketua) dan tidak boleh
meninggalkan medan jihad melainkan dengan izin ketua. Islam juga membenarkan mujahidin
melakukan taktik dalam peperangan karena
perbuatan itu termasuk dalam strategi peperangan. Mjahidin juga diajar
melakukan pembagian harta rampasan perang dilakukan secara adil mengikuit
ketetapan Allah SWT dalam al-Quran. Harta-harta yg diperoleh dalam peperangan
bukan menjadi milik Rasulullah SAW tetapi mesti dibagikan secara sama rata
dalam kalangan mujahidin yang terlibat dalam peperangan tersebut.
Selain itu, beberapa teks Hadis dan Atsar yang memerinci warga sipil dan
non-kombatan yang harus dilindungi dari segala bentuk ekses operasi militer,
serangan membabi buta, pembalasan dendam dan tidak dijadikan objek serangan
atau dijadikan sebagai perisai dari serangan militer, antara lain :
1.
Para Wanita dan Anak-Anak
Abdullah bin Umar melaporkan,
“Selama bebrapa peperangan Rasullullah saw., seorang wanita ditemukan terbunuh,
maka Rasullullah saw. melarang pembunuhan wanita dan anak-anak.”
(HR.al-Bukhari). Dalam Hadis lain dilaporkan bahwa, “Seorang wanita ditemukan
terbunuh. Rasullullah tidak menyetujui pembunuhan wanita dan anak-anak.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim. Hadis dengan arti yang sama diriwayatkan juga oleh Imam Malik
dan IbnuMajah)
2. Para Agamawan dan Rohaniawan
Yahya bin Sa’id melaporkan bahwa,
“Abu Bakar ra. Menasihati Yazid bin Muawiyah, ‘Kamu akan menemukan
sekelompok orang yang mengaku telah mengabdikan diri sepenuhnya kepada
Allah. Biarkanlah mereka atas apa yang diakuinya (Biarawan Kristen) Aku
menasihatimu sepuluh hal, Jangan membunuh para wanita atau anak-anak atau orang
tua yang lemah. Jangan menebang pohon yang mengahsilkan buah, jangan membantai
kambing atau unta kecuali untuk makanan. Jangan membakar rumah dam
memporak-porandakannya. Jangan mencuri barang rampasan perang, dan jangan
bersikap pengecut” (HR. Malik).
3.
Tawanan Perang
Dalam
memperlakukan tawanan perang yang tidak dalam posisinya lagi untuk melawan, islam
memerintahkan Muslim untuk memperlakukan mereka secara baik sesuai firman Allah
swt : “Apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir (di Medan perang) maka pancunglah batang leher mereka.
Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan
sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang
berakhir.”[5] Dalam praktiknya
Rasullullah saw. mengimplementasikan perintah al-Quran terhadap tawanan perang
dengan baik dan sering kali membebaskan mereka seperti dalam kasus Perang
Hunain. Beberapa tawanan perang Badar ditebus, dan beberapa yang lain
diminta untuk mengajari anak-anak Muslim sebagai komensasi kebebasan mereka.
Bahkan saw. bersikap sangat lembut dan penuh keluhuran budi kepada pihak musuh
yang telah ditakhlukan walaupun beliau dulu pernah disakiti dan beberapa
sahabat beliau dianiaya dan dibunuh mereka. Pada peristiwa Fath Makkah, beliau
berkata ke[pada orang-orang kafir Quraisy yang telah ditaklukkan, “
pergilah,kalian sudah bebas”(HR. al-Baihaqi).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
prinsip-prinsip di atas telah jelaslah bahwa Islam senantiasa mengedapankan
moral dan etika dalam peperangan yang penuh dengan darah serta kerusakan
sekalipun. Bahwa Rasulullah menekankan prinsip- prinsip hukum humaniter
Islam dalam medan pertempuran. Sehingga tertepislah image Islam di mata dunia
Barat yang memandang Agama Islam sebagai agama pedang, agama teroris,
Sebab untuk berperang saja umat Islam harus menggunakan prinsip- prinsip
etika peperangan dan tidak menghendaki perang terlebih dahulu kecuali dalam
keadaan terdesak.
B.
SARAN
Hukum humaniter
barbasis Islam seharusnya dapat dijadikan rujukan dan dasar pijakan dalam
hukum HHI. Sebab prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter Islam sedikit
banyak ada kesamaan yang prinsipil dalam aturannya. Kaidah utama yang menjadi
dasar bagi Hukum Internasional Umum dalam Islam adalah kesatuan kemanusiaan,
kerjasama atas kebaikan, toleransi, kebebasan berkeyakinan, keadilan dan
resiprokal berbasis moral. Kaidah tersebut bersumber
kepada Al Qur’an dan Sunah serta hukum
kebiasaan yang tidak bertentangan teks agama. Sehingga ada poin utama dalam
Hukum Humaniter berbasis Islam yang dapat disimpulkan. Pertama, perang harus
terbatas pada aspek darurat. kedua ,bila perang meletus, wajib
bernapaskan kemanusiaan atau menjunjung tinggi segala aspek kemanusiaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arlina Permanasari, Fadillah Agus, et.al Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta,
1999
Al-Qur’an,
Kementrian Agama.
Humaniter,Sejarah
STPM /Peperangan dan Strategi peperangan dalam Islam.htm.
Muttafaq ‘alaih, SAHIH Al Bukhari dan Muslim.
Masri E.Bidin, Perlindungan Warga Sipil dan Tawanan dalam Perspektif HHI dan Syari’ah
islam kumpulan kursus makalah HHI ,Kerja sama Fak. Hukum UNDIP dan
International Committee of the Red Cros (ICRC).
Shahih/Abu
Dawud shahih Sunan Abi Dawud .
Pietro Verri, Dictionary of
International Law of Armed Conflict, InternationaL
Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.
Yusuf al-Qaradhawi, al-islam wa al-‘Unf: nazharat Ta’shiliyyah,( Kairo:Dar al-Syuruq,
2005) h. 27-29.
Zaqzuq, Haqo’iq
Islamiyyah fi Muwahajat Hamalat at-Tasykik, (Kairo: Maktabah Asy-syuruk al-Dawliyyah ,2004), h.
51-52.
#sulaimanzaini
mahasiswa fakultas hukum Universitas Malikussaleh