Thursday, 18 February 2016

ANALISIS PEMISAHAN WEWENANG PENGAWASAN BANK PADA MASA TRANSISI BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN



KATA PENGANTAR
 Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk dapat menyelesaikan Makalah Hukum perbankan dengan judul “ANALISIS PEMISAHAN WEWENANG PENGAWASAN BANK PADA MASA TRANSISI BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN ini. Dengan adanya makalah ini, kami berharap agar kawan-kawan mahasiswa Dapat mengetahui lebih jelas tentang Kewenangan pengawasan BI yang di alihkan ke OJK. Kritik dan saran benar-benar kami harapkan guna penyempurnaan lebih lanjut sehingga dapat membawa manfaat lebih bagi kita semua.

                                                                                                         Lhokseumawe, 20 Oktober 2015
                                                                                                                       Sulaiman zaini
                                                                                                                       Nim : 130510080


DAFTAR ISI
Kata Pengantar   ..............................................................................      i
Daftar Isi  .........................................................................................       ii
Bab I Pendahuluan         .................................................................       1
A.    Latar Belakang            .............................................................................       1
B.     Rumusan Masalah       ............................................................................       3
C.     Metode Penelitian       ..............................................................................      3
Bab II Pembahasan        ..................................................................       4
A.    Pengertian, Tujuan dan Tugas Bank Indonesia          ..............................       4
B.     Pengerian, Fungsi dan Tugas OJK                  .........................................       4
              C.     Analisis Kewenangan Pengawasan Bank
Pada Masa Transisi BI dan OJK         .........................................       5

Bab III Penutup  .............................................................................       11
A.    Kesimpulan    .............................................................................       11
B.     Saran  .........................................................................................       12
Daftar Pustaka            ..............................................................................       13









BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan berfungsi dalam mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial kepada pihak yang megalai defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi[1].
Sektor perbankan merupakan bagian dari sistem keuangan yang memiliki peran strategis bagi perekonomian suatu negara. Tidak ada suatu negara modern yang iklim perekonomiannya dapat tumbuh dan berkembang pesat tanpa peran perbankan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa arah dan kebijakan perekonomian suatu negara pada umumnya sangat dipengaruhi oleh dua kebijakan yang menjadi payung landasan bagi ekonomi makro suatu negara, yaitu kebijakan moneter (monetary policies) dan kebijakan fiskal (fiscal policies)[2].
Bank Sentral Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenngnya yang telah diatur dalam undang- undang, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dan telah diamandemen menjadi UU No.6/ 2009 dimana dalam UU tersebut pula ditegaskan bahwa Bank Indonesia merupakan suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang tersebut. Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memilki tiga pilar utama yang meliputi, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank[3]
Masih sangat melekat dalam ingatan kita bersama bagaimana krisis ekonomi dan krisis keuangan yang meluluhlantakan perekonomian Indonesia beberapa tahun yang lalu. Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia misalnya, krisis ekonomi dan keuangan tersebut merupakan suatu kejadian mahal yang dapat digunakan untuk melakukan refleksi, mengambil pelajaran atas kejadian yang baru saja dilewati dan melakukan penyesuaian atas apa yang dilakukan selama ini[4]
Krisis 1997 yang menimpa Indonesia akibat Imbas dari Thailand tersebut benar- benar menghancurkan fundamental ekonomi Indonesia dimana pada saat itu Indonesia menunjukan tingkat Inflasi yang rendah, surplus perdagangan yang mencapai lebih dari USD 900juta, cadangan devisa yang sangat besar lebih dari USD 20Milyar dan sektor perbankan yang banyak ditutup karena kinerja yang kurang baik (Bank Indonesia : 2010). Belum lepas dari ingatan ketika krisis 1997 yang menghancurkan fundamental perekonomian Indonesia, Putaran krisis ekonomi dan keuangan global tahun 2008 pasca kehancuran Lehman Brothers menimbulkan kekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global, termasuk melibas industri perbankan di Indonesia dan kemudian dilanjutkan dengan kabar runtuhnya Bank Century.
Beberapa permasalahan tersebut menunjukan bahwa efektifitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tanggung jawabnya terutama sebagai pengatur dan pengawas bank dinilai gagal. Akibat kegagal tersebut, pemerintah Indonesia memberikan perhatiannya dengan membentuk suatu sistem pengawasan baru yang independen yang bertujuan untuk melindungi konsumen dan meningkatkan efisiensi lembaga keuangan. Lembaga pengawasan independen ini adalah Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut OJK. Keberadaan OJK, secara otomatis memisahkan fungsi pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial dimana secara konseptual, Bank Indonesia akan bertanggung jawab mengawal sektor perbankan pada aspek makro (macro-prudential) sedangkan tanggung jawab pengawasan mikro (microprudential) ada dibawah kendali OJK.
Indonesia memang bukan negara pertama yang mencoba menerapkan lembaga pengawasan yang independen. Indonesia dalam hal ini patut melihat pengalaman Financial Service Authority (FSA) di Inggris. FSA gagal melakukan pengawasan terhadap Northern Rock yang menyebabkan lembaga tersebut mengalami kegagalan pada saat krisis keuangan di tahun 2008. FSA juga dinilai gagal melakukan koordinasi dengan Bank of England (BoE) terkait Northern rock Bank. Adanya kegagalan koordinasi FSA tersebut diakibatkan oleh tidak adanya diseminasi informasi (data sharing) terkait lembaga keuangan dan koordinasi dengan BoE terutama pada saat krisis. FSA dinilai hanya fokus pda salah satu fungsinya yaitu pengawasan conduct of business sedangkan fungsi regulasi sektor keuangan cenderung diabaikan. Kegagalan FSA ini membuat fungsi regulasi dan pengawasan sektor keuangan dikembalikan kepada BoE[5].
Kegagalan FSA tersebut tentunya menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia dimana negara berkembang berani mengambil keputusan untuk membentuk lembaga independen yang baru padahal faktanya Indonesia dirasa kurang memiliki Good Corporate Governance (GGC) yang baik, dan masih adanya kekhawatiran financial instability yang mungkin akan muncul dan adanya asimetris informasi dengan adanya dua kewajiban dalam dua lembaga yang
berbeda.

 B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Bank Indonesia.
2.      Pengertian OJK.
3.      Menganalisa Kewenangan Pengawasan BI dan OJK. 

C.    METODE PENELITIAN
1.      Metode penelitian Kualitatif.
2.      Studi Pustaka : 
-          Buku-buku dan Internet.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian, Tujuan dan Tugas Bank Indonesia.
Menurut UU No. 3 Tahun 2004 Bank sentral adalah lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu Negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan serta menjalani fungsi sebagai  lender of the last resort.
Tujuan Bank Indonesia sebagai bank sentral  tercantum pada UU No. 3 Tahun 2004 pasal 7 adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah . untuk mencapai tujuan tersebut , sesuai undang-undang Bank Indonesia mempunyai tiga tugas yaitu :
1.      Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2.      Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran, dan
3.      Mengatur dan mengawasi bank.
Tetapi pada tanggal 31 Desember 2013 tugas pengawasan perbankan resmi dilimpahkan kepada OJK melalui Undang-undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga  Keuangan Mikro.

B.     Pengerian, Fungsi dan Tugas OJK.
Menurut  Undang-undang  No. 1 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penyidikan sector jasa keuangan di Indonesia.
Dalam Undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa Ojk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :
1.      Kegiatan jasa keuangan di sector perbankan;
2.      Kegiatan jasa keuangan di sector pasar modal; dan
3.      Kegiatan jasa keuangan di sector perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Sedangkan OJK memiliki dua bentuk wewenang yaitu wewenang pengaturan dan wewenang pengawasan. Wewenang Pengaturan OJK adalah menetapkan :
1.      Peraturan pelaksanaan UU OJK;
2.      Peraturan perundang-undangan di sector jasa keuangan;
3.      Peraturan mengenai pengawasan;
4.      Peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis.
Dan wewenang Pengawasan OJK adalah :
1.   Melakukan pengawasan dan perlindungan konsumen sector perbankan, pasara modal & Industri Keuangan Non Bank (IKNB)
2. Memberikan dan atau mencabut izin usaha; pengesahan; persetujuan; atau penetapan pembubaran;
3.  Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan menunjuk pengelola statuer.
4.     Menetapkan sanksi administratif.
Dilihat dari tinjauan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa OJK ternyata lebih memiliki fungsi dan wewenang pengawasan secara mikro , berbeda dengan BI yang lebih menekankan pada ruang lingkup makro.

C.    Analisis Kewenangan Pengawasan Bank Pada Masa Transisi BI dan OJK
1.      Evolusi Fungsi Pengawasan Perbankan Bank Indonesia dan Isu-isu Normatif terkait Pemisahan Wewenang Pengawasan Bank.
Krisis Ekonomi 1997
Krisis ekonomi di Asia dimulai dengan terjadinya krisis nilai tukar mata uang di Asia terhadap dolar Amerika. Krisis nilai tukar mata uang ini dimulai dari Thailand yang kemudian menjalar ke Korea dan Indonesia. Meksiko yang mengalami krisis di akhir tahun 1994 dan berlanjut hingga tahun 1995, juga dialami oleh beberapa negara- negara di Asia tenggara[6].
Indonesia mengalami depresiasi mencapai angka 83% pada tahun 1998, dibandingkan dengan empat negara Asia Tenggara lainnya yang depresiasi justru menurun Indonesia mengalami depresiasi yang cenderung meningkat. Dalam kondisi depresiasi yang tinggi ini pemerintah secara implisit membentuk signal kepada pasar bahwa tidak perlu adanya proteksi terhadap perubahan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah. Kebijakan ini secara otomatis memerlukan penyesuaian terhdap kebijakan suku bunga tanpa mengesampingkan faktor inflasi.
Puncak krisis ekonomi Indonesia terjadi ditahun 1998, pertumbuhan ekonomi terjerembab mengalami kontraksi menuju angka -13% dan inflasi meroket hingga mencapai 77,6%. Selain itu, pengangguran dan kemiskinan melonjak sangat tajam. Rupiah semakin terdepresiasi hingga angka 7% menjadi Rp. 2.600 per dolar yang diikuti oleh pelarian modal gelombang pertama dari international mutual funds dan hedge funds. Karena tingginya tekanan tersebut, pada 14 agustus diberlakkan free floating rate terhadap rupiah yang ditandai dengan pelepasan band intervensi serta pengetatan kebijakan moneter.
Krisis tahun 1997 membuat Bank-Bank di Indonesia mengalami perubahan yang besar. Pada Juni 1997 dilakukan kajian perbakan yang dimaksudkan untuk mengetahui bank-bank yang mungkin dalam keadaan insolvent atau kondisi keuangan dimana suatu bank asetnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai kewajibannya. Dari hasil pengkajian terhadap 92 bank yang diseleksi pada saat itu antara lain ; 34 bank dinilai tidak solvent (termasuk 2 bank pemerintah, 6 bank pembangunan daeran dan 26 bank swasta), 16 dinilai poor, 28 bank unsound dan 14 bank sound. Dalam paket penyehatan perbankan yang dituangkan dalam Letter of Intent yang disepakati serta ditandatangani oleh pemerintah dan IMF terdapat 16 bank yang ditutup dikarenakan faktor insolvent dan lemah pada 1 November 1997. Proses penutupan 16 bank berlangsung lancar dan efektif, meskipun Bank Indonesia tidak berpengalaman menutup bank. Pada awalnya reaksi pertama dari pengumuman atas program tersebut cukup positif. Nilai kurs rupiah menguat setelah turun tajam. Setelah dua minggu, diperoleh tanggapan positif atas LoL pertama dan rupiah kembali menguat pada Rp.3000 perdolar AS. Akan tetapi, hal ini tidak bertahan lama dan kepercayaan publik mulai goyah karena beberapa alasan. Pertama, penutupan bank yang tidak terencana dan tidak dilaksanakan dengan baik. Kedua, kurang transparannya proses pemulihan perekonomian. Ketiga, tidak adanya kejelasan tentang kriteria dan dasar dalam menentukan bank yang akan ditutup. Hingga pada awal desember 1997, penarikan dana secara besar-besaran dilakukan oleh deposan di hampir semua bank. Hal ini dipicu karena menguaknya rumor akan diadakannya penutupan bank lagi. Padahal yang terjadi adalah pengalihan uang dari bank yang lemah ke bank yang berkualitas.
Krisis Ekonomi 2008
Belum lepas dari ingatan ketika krisis 1997 memporak-porandakan perekonomian Indonesia,dinamika perekonomian Indonesia kembali mengalami kemerosotan ditahun 2008. Diawali pada pertengahan tahun 2007, terjadi krisis yang dipicu oleh gagal bayar di kelompok subprime, yang kemudian memicu pecahnya bubble di sektor properti. Dan pada akhirnya di tahun 2008, Indonesia dibayangi oleh tekanan yang cukup berat. Yang merupakan imbas dari ketidakpastian pasar finansial global yang mengalami peningkatan dan membuat proses pelambatan ekonomi dunia yang signifikan serta perubahan harga komoditas global yang sangat drastis[7].
Krisis ditahun 2008 dipicu oleh kebijakan pemerintah AS yang cenderung ekspansif. Kebijakan pemerintah yang akomodatif pada saat sebelum terjadinya krisis, memicu maraknya praktik penyaluran kredit berisiko tinggi. Lebih jauh lagi, meningkatnya insentif pinjaman (seperti kemudahan syarat mengajukan pinjaman) yang didukung tren jangka panjang peningkatan harga rumah telah mendorong debitur untuk mengajukan kredit KPR yang lebih berisiko, dengan berharap dapat melakukan refinancing pada suku bunga yang lebih rendah.
Pada September 2008, rata-rata harga rumah di AS telah turun 20% dari level tertingginya di pertengahan tahun 2006. Gagal bayar di sektor subprime menyebabkan nilai aset MBS jatuh dan mendorong bank investasi terbesar di AS mengalami kerugian besar. Selama September 2008 Lehman Brothers menyatakan bangkrut, sementara Bear Sterns dan Merril Lynch diambil alih kepemilikannya oleh bank lain.. Akibat terparah dari semua ini adalah tidak berfungsinya sektor keuangan AS yang merambat kepada tidak berfungsinya sektor keuangan dunia. Profil risiko pinjam meminjam likuiditas tiba-tiba melonjak tinggi sepanjang tahun 2008, terlebih setelah bangkrutnya bank investasi terbesar ke-4 di AS seperti Lehman Brothers. Krisis global yang terjadi saat itu begitu cepat menjalar dan menyerang negara-negara lain termasuk Indonesia[8]. Setelah berita kebangkrutan Lehman Brothers terlansir gerak-gerik rupiah mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiah sempoyongan menembus angka Rp12.650 per dolar AS pada 24 Nopember 2008. Meroketnya nilai tukar rupiah menembus angka psikologis (Rp10.000/dolar) tentunya membuat panik perusahaan-perusahaan nasional yang masih mengandalkan bahan baku impor dan para pemilik modal yang tergerus nilai nominal dana mereka. Namun, merosotnya nilai tukar rupiah hanyalah dimaknai oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebatas mereka terpaksa menunda pembelian alat-alat elektronika yang melonjak harganya. Kenaikkan harga barang-barang ini pun memicu angka inflasi hingga sempat menyentuh 12,56% pada tahun 2008 (Bank Indonesia : 2010).
Kasus Bank Century Tahun 2008
Belum selesai tekanan dari krisis global, ditahun yang sama yaitu di tahun 2008 dan tepatnya 6 November 2008, Bank Century ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus (special surveillance) apakah bank tersebut menimbulkan efek domino (dampak sistemik) atau tidak terhadap stabilitas sistem perbankan. Bank Century sendiri merupakan bank hasil merger dari tiga bank, meliputi : Bank CIC, Bank Pikko dan bank Danpac. Rentan waktu merger tiga bank tersebut pun tidak luput dari masalah sejak 20 Juni 2000. Pada akhir Oktober 2008, kondisi likuiditas BC semakin parah. Melihat gelagat tak beres pada BC, pemeriksa dan pengawas BI mengusulkan kepada DG BI agar BC masuk pengawasan khusus (SSU) pada 5 November 2008. Dasar pengenaan status SSU karena CAR bank dibawah 8%.Beberapa kali terjadi pelanggaran GWM serta likuiditas bank yang terus memburuk. Banyak aspek memasukkan sebuah bank dalam pengawasan khusus. Biasanya modal bank rendah dan tingkat kredit bermasalah tinggi serta profitabilitas yang rendah pula.. Dalam kondisi yang sedang terpuruk ditambah lagi penarikan dana pihak ketiga secara terus menerus dan hembusan rumor miring membuat kondisi BC pun mulai semponyongan dan limbung. Bank ini juga sempat mengalami gagal kliring (13 Nopember 2008), karena terlambat menyetor prefund. Peristiwa ini semakin memukul BC ketika deposan melakukan aksi rush dana mereka di bank itu[9].
Mencermati kondisi likuiditas BC yang terus mengalami penurunan, Dewan Gubernur BI mengelar pertemuan (18 November 2008). Pokok serius bahasan adalah laporan kinerja terkini BC dan kajian sistemik bank tersebut bila terpaksa harus dicabut izin usahanya. Dua hari kemudian (20 November 2008), RDG BI memutuskan BC tidak bisa lagi diselamatkan dan disehatkan oleh PSP bank sehingga ditetapkan sebagai bank gagal yang berstatus sistemik dan merekomendasi untuk diselamatkan oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Resiko Sistemik Stabilitas Keuangan dan Survey Kegagalan Bank
Menggabungkan fungsi kebijakan moneter dan pengawasan bank dalam bank sentral bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Argumen tersebut tidak jauh dari fungsi Bank Indonesia sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Seperti yang diketahui, fungsi LoLR merupakan peran Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut. Pemantauan stabilitas keuangan merupakan tugas bank sentral yang merupakan satu kesatuan dalam menjaga stabilitas keuangan. Dalam menjaga kestabilan sistem keuangan tersebut Bank Indonesia harus melakukan pemantauan dari dua indikator yakni indikator microprudential dan indikator makroekonomi. Kedua indikator tersebut saling melengkapi sebagai aksi dan reaksi dalam sistem keuangan dan ekonomi[10].


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya menghasilkan kesimpulan bahwa Krisis ekonomi dan krisis keuangan ditahun 1997 dan 2008 serta kabar runtuhnya Bank Century menyita perhatian dan menjadi pelajaran yang berarti bagi Bank Indonesia. Peristiwa tersebut juga menarik perhatian pemerintah untuk membentuk lembaga pengawasan yang independen yang kemudian disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan yang
bertugas untuk mengatur dan mengawasi bank dan lembaga keuangan non-bank dengan harapan Bank Indonesia akan lebih fokus pada tugas mewujudkan stabilitas moneter, memelihara sistem pembayaran yang aman dn efisien serta mendorong stabilitas sistem keuangan.

Melihat perkembangan pesat pada sistem keuangan dan teknologi informasi serta inovasi finansial yang pada akhirnya menciptakan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkait satu sama lain antar subsektor keuangan dan lembaga keuangan dan tingginya jumlah konglomerasi keuangan di Indonesia, maka sistem pengawasan yang optimum diterapkan Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan twin peaks. Bank Indonesia akan terfokus kepada pengawasan secara makro (makroprudensial) dan wewenang kebijakan moneter dan sistem pembayaran. OJK fokus kepada wewenang pengawasan lembaga keuangan perbankan dan perlindungan konsumen, dan Bapepam-LK fokus kepada tugas mengawasi Conduct of Business. Dengan harapan mampu mengurangi birokrasi yang berbelit- belit dan OJK akan lebih tanggap kepada permasalahan-permasalahan lembaga keuangan Bank.

B.     SARAN
Dengan melihat keadaan sektor keuangan di Indonesia, lembaga pengawasan
perbankan sebaiknya dilaksanakan oleh OJK dengan membentuk dan menciptakan koordinasi yang seefektif dan seefisien mungkin dengan Bank Indonesia sedangkan pengawasan lembaga keuangan non-bank dilakukan oleh Bapepam-LK yang telah ada dan berjalan. BI, OJK, Kementrian Keuangan, dan LPS patut membuat Memorandum of Understanding (MoU) mengenai fungsi dan tugas masing-masing lembaga dalam kerangka koordinasi untuk menciptakan transparansi koordinasi.





DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, Sri. 2012. Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan.Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)

Adhitia, Didit. 2012. OJK, Sebuah Optimisme. http://www.politikindonesia.com. Dikutip Februari 2014.

Aditiasari, Dana. 2013. DJSN: OJK bikin pengawasan BPJS lebih sempurna.
http://ekbis.sindonews.com. Diakses Februari 2014

Agung, Juda. 2010. Mengintegrasikan Kebijakan Moneter dan Makroprudensial: Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia Pasca Krisis Global. Working Paper no.7 Bank Indonesia.

Ascarya. 2013. Sinergi Perbankan Syariah dan LKS non-Bank dalam Peningkatan Perekonomian Indonesia. Presentasi Pusat Riset Dan Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia.

Bank Indonesia. Tanpa Tahun. Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia. http://www.bi.go.id.

Bank Indonesia. 2007. Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan.

Bank Indonesia. 2009. Bab 3 Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia. Outlook Ekonomi Indonesia 2009 - 2014. www.bi.go.id

Bank Indonesia. 2010. Krisis Global Dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. Jakarta.

Humas Bank Indonesia Bratadharma, Angga. 2012. OJK Terbentuk Karena Undang-Undang, Bukan Realita Ekonomi.

FSA Occasional Papers In Financial Regulation
Briault, Clive. 2002. Revisiting the rationale for a single national financial services regulator.



[1] Ulpah et al: 2010
[2] [Suta & Musa, 2003 : 3]
[3] Bank Indonesia : 2009
[4] Agung : 2010
[5] Ulpah et al: 2010
[6] Suta dan Musa, 2003 : 24- 25

[7] Bank Indonesia : 2009
[8] Bank Indonesia : 2009
[9] Bank Indonesia : 2010
[10] Otoritas Jasa Keuangan : 2013